Kampus Menyambut Mahasiswa, Tapi Benarkah Mereka Merasa Disambut?




Mataram, dimensiummat.id -Penyambutan mahasiswa baru, melainkan juga wadah pembentukan karakter, pengenalan budaya akademik, serta penguatan rasa kebersamaan di lingkungan kampus. Seperti yang dikatakan Ki Hajar Dewantara, pendidikan sejatinya adalah proses menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan.


 PKKMB, jika dijalankan dengan baik, bisa menjadi salah satu bentuk “tuntunan” itu menjadi pintu awal mahasiswa mengenal dan menghayati kehidupan kampus. Bisa dibilang PKKMB adalah gerbang pertama bagi mahasiswa baru sebelum benar-benar masuk ke dunia perkuliahan. 


Lewat kegiatan ini, mereka mulai mengenal budaya akademik, belajar beradaptasi dengan suasana kampus, dan tentu saja bertemu dengan banyak teman baru. Menariknya, suasana PKKMB tidak pernah sama tiap tahun. Kalau kita bandingkan antara PKKMB 2024 dan 2025 di Universitas Muhammadiyah Mataram, jelas terlihat perbedaannya, bukan sekadar soal jumlah peserta, tapi juga soal kualitas pengalaman yang mereka dapatkan.


Tahun 2024, jumlah mahasiswa baru sekitar 1.773 orang. Acara dilaksanakan di dalam ruangan, sehingga otomatis lebih nyaman. Peserta bisa fokus mendengarkan materi tanpa kepanasan atau kehujanan, dan acaranya pun terasa rapi serta kondusif. Walaupun konsepnya sederhana, justru kesederhanaan itu yang membuat acara lebih berkesan. Banyak mahasiswa bilang suasananya mendukung untuk memahami materi, dan mereka pulang dengan rasa puas karena kegiatan berjalan lancar. Bahkan soal konsumsi pun tidak ada yang dipermasalahkan. Beberapa mahasiswa merasa benar-benar disambut hangat oleh kampus, suasananya adem, tertata, dan tidak membuat mereka kelelahan.


 Paulo Freire pernah menyatakan bahwa pendidikan sejati adalah dialog, bukan monolog. Dan pada PKKMB 2024, setidaknya mahasiswa merasa ada ruang untuk dihargai, bukan sekadar dijejali agenda.


Berbeda cerita dengan 2025. Jumlah mahasiswa baru naik menjadi 1.985 orang, namun acaranya dipusatkan di luar ruangan. Bayangkan saja, tidak ada alas duduk, sehingga banyak mahasiswa mengeluh bajunya kotor dan merasa tidak nyaman. Ditambah lagi soal konsumsi yang sempat menimbulkan masalah, bahkan ada kabar mengenai makanan basi. Dari sisi acara pun banyak yang menganggapnya monton, terlalu banyak duduk tanpa interaksi yang menarik. Tidak heran kalau sebagian mahasiswa cepat bosan. Beberapa bahkan nyeletuk bahwa PKKMB tahun ini lebih mirip “uji ketahanan fisik” daripada kegiatan pembekalan akademik. Sungguh ironis, kampus yang seharusnya menyambut mahasiswa baru justru memberi kesan seperti sedang menguji daya tahan mereka.


Kritik juga muncul terkait sikap panitia. Ada mahasiswa yang merasa para kakak panitia bersikap galak dan judes, seakan-akan PKKMB adalah ajang pelatihan militer, bukan pendidikan. Padahal Ki Hajar Dewantara sudah mengingatkan sejak lama, pendidikan seharusnya dilakukan dengan kelembutan, bukan paksaan. Jika sambutan pertama yang mahasiswa rasakan adalah bentakan dan wajah masam, jangan heran kalau kesan awal kampus jadi buruk. Alih-alih menumbuhkan motivasi, suasana seperti itu justru bisa mematikan semangat.


Meski begitu, tidak adil juga bila mengatakan PKKMB 2025 sepenuhnya gagal. Ada sisi positif yang perlu diakui. Jumlah mahasiswa baru yang semakin banyak jelas menunjukkan bahwa Universitas Muhammadiyah Mataram semakin dipercaya oleh masyarakat. Hal ini patut diapresiasi. Hanya saja, peningkatan jumlah mahasiswa harus diimbangi dengan kesiapan manajemen acara.


John Dewey yang dianggap sebagai salah satu cendekiawan Amerika paling terkemuka pada  pertama abad ke-20 pernah mengatakan, pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup, melainkan kehidupan itu sendiri. Artinya, pengalaman awal mahasiswa di PKKMB bukan sekadar formalitas, tetapi bagian dari kehidupan nyata mereka di kampus. Kalau sejak awal mereka dipertemukan dengan ketidaknyamanan, bagaimana bisa kampus menanamkan nilai bahwa perkuliahan adalah ruang belajar yang menyenangkan?


Kalau dilihat lebih dalam, sebenarnya tujuan dari PKKMB 2024 maupun 2025 sama saja: membimbing mahasiswa baru agar siap menghadapi dunia kuliah. Hanya saja cara pelaksanaan  berbeda. PKKMB 2024 lebih unggul dari sisi kenyamanan dan kerapian, sementara PKKMB 2025 memberi pelajaran penting soal bagaimana mengelola jumlah peserta yang besar. Andai saja kedua pengalaman ini digabung, mungkin PKKMB di tahun berikutnya bisa menjadi lebih seru, interaktif, dan tetap bermakna bagi mahasiswa baru.


Pada akhirnya, mahasiswa tentu menginginkan PKKMB menjadi kenangan manis, bukan sekadar acara formal yang melelahkan. Panitia dan pihak kampus punya pekerjaan rumah besar: mendengarkan suara mahasiswa, memperbaiki kualitas penyelenggaraan, dan memastikan PKKMB menjadi wadah yang benar-benar mendukung tujuan pendidikan. 


Darmaningtyas yang dikenal sebagai pemerhati sekaligus kritikus pendidikan yang konsen selama 40 tahun yang mengawal kebijakan 15 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan termasuk kritik terhadap kebijakan Nadiem Makarim tentang Merdeka Belajar pernah menegaskan bahwa pendidikan yang baik bukanlah yang membuat peserta didik takut, melainkan yang membuat mereka merasa dihargai dan berani berkembang. Prinsip ini seharusnya menjadi acuan, agar PKKMB bukan hanya ajang kumpul tahunan, melainkan titik awal mahasiswa merasa bahwa kuliah itu seru, penuh tantangan, dan sarat pengalaman berharga.


Maka jangan sampai PKKMB hanya dikenang sebagai “hari-hari yang membosankan.” Mahasiswa baru layak disambut dengan lebih manusiawi, agar mereka benar-benar merasakan bahwa memasuki dunia orientasi. 


Oleh: PILU

Editor: Anti duhring

Post a Comment

Previous Post Next Post