Dalam dunia pendidikan tinggi, dosen tidak hanya bertugas mengajar, tetapi juga menjadi teladan moral bagi mahasiswa dan masyarakat. Namun, belakangan ini sering muncul kasus dosen yang terlibat tindakan amoral mulai dari pelecehan seksual, korupsi akademik, hingga pelanggaran etika lainnya. Ironisnya, banyak dari mereka lolos dari sanksi tegas, bahkan tetap mengajar seolah tak terjadi apa-apa. Ini harus diubah. dosen yang terbukti melakukan tindakan amoral harus dipecat tanpa kompromi.
Sebagai seorang dosen, tanggung jawabnya tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi teladan bagi mahasiswa dan masyarakat. Perselingkuhan adalah pelanggaran berat terhadap Kode Etik Dosen (Permendikbud No. 55 Tahun 2017) yang mewajibkan dosen menjaga martabat dan perilaku sesuai norma agama, hukum, dan budaya. Nilai-nilai Muhammadiyah yang jelas-jelas melarang perzinahan dan hubungan diluar nikah (QS. Al-Isra: 32). Banyak yang menganggap perselingkuhan adalah urusan privat, padahal dalam konteks dosen, ini adalah pelanggaran hukum dan etika kerja. Berikut landasan hukum yang bisa menjadi dasar pemecatan.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 43 (1) Dosen wajib memiliki kompetensi dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan etika. Pasal 60: Dosen dapat diberhentikan dengan tidak hormat jika melanggar sumpah/janji jabatan atau perbuatan tercela. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2009 tentang Dosen Pasal 14 (1) Dosen harus mematuhi peraturan, kode etik, dan norma agama. Pasal 66 Pelanggaran berat (termasuk asusila) dapat dikenai sanksi pemberhentian tidak dengan hormat. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 284 (Perzinahan) Meski kini tidak lagi dihukum penjara, tindakan perselingkuhan tetap dianggap melanggar norma sosial dan agama, yang dapat menjadi alasan pemberhentian.
Kampus Universitas Muhammadiyah Mataram Harus Lebih Tegas, Sebagai lembaga pendidikan Islam, UMMAT tidak boleh setengah-setengah dalam menindak dosen bermasalah. Jika dibiarkan:
Mahasiswa kehilangan rasa hormat pada figur pendidik.Reputasi kampus hancur karena dianggap tutup mata pada kemaksiatan.Budaya permisif akan tumbuh jika pelaku tidak diberi sanksi tegas.
Berikan sanksi tegas berupa pemecatan tanpa toleransi jika terbukti bersalah. Kasus di UMMAT harus menjadi pelajaran bagi semua kampus: tidak ada toleransi bagi dosen yang merusak martabat pendidikan. Dengan dasar hukum yang jelas, kampus harus berani membersihkan diri dari oknum-oknum yang mencoreng nama baik dunia akademik.
Viralnya kasus perselingkuhan dosen di Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMAT) telah mencoreng reputasi kampus yang seharusnya menjadi garda terdepan nilai-nilai Islam. Namun, yang lebih memprihatinkan adalah sikap Badan Pengurus Harian (BPH) UMMAT diduga mempertahankan oknum dosen dengan tidak memberikan alasan logis mengapa dosen terlibat tindakan amoral tidak dipecat. Diamnya pihak kampus justru menguatkan kesan bahwa UMMAT lebih memilih "menutup aib" daripada menegakkan keadilan.
Sebagai lembaga yang mengatasnamakan Muhammadiyah organisasi dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkar, BPH UMMAT seharusnya Memberikan penjelasan terbuka tentang hasil rapat senat BPH, Menyampaikan alasan konkret jika memang ada pertimbangan khusus untuk tidak memecat dosen dengan inisial (HIJ) tersebut. Menunjukkan komitmen terhadap nilai Islam, bukan justru terkesan melindungi pelaku.
Namun, yang terjadi adalah kesamaran dan pembiaran. Tidak ada penjelasan memadai mengapa dosen tersebut masih dipertahankan, padahal bukti perselingkuhan sudah viral. Ini adalah bentuk pengabaian terhadap mahasiswa, orang tua, dan masyarakat yang berharap pada integritas kampus. Jika Alasannya Masih Proses Hukum, Itu Tidak Cukup!
Bisa jadi BPH UMMat beralasan bahwa kasus ini "masih dalam proses investigasi". Namun yang menjadi pertanyaannya Berapa lama lagi? Kasus sudah viral, bukti ada, tapi keputusan tidak kunjung datang. Mengapa tidak di-nonaktifkan sementara? Membiarkan dosen tetap mengajar adalah bentuk tidak seriusnya penanganan dalam kasus ini. Apakah ada upaya menutupi kasus? Jika tidak, mengapa tidak ada transparansi?
Di kampus lain, dosen yang terlibat skandal serupa langsung ditindak tegas. BPH UMMat justru terlihat lamban dan tidak berani mengambil keputusan tegas, seolah takut pada "orang dalam". Sebagai representatif dari Kampus Muhammadiyah Harusnya Lebih Tegas daripada Kampus lain pada Umumnya. Sebagai institusi berbasis Islam, UMMAT seharusnya lebih keras dalam menindak pelanggaran moral. Jika kampus sekuler saja berani memecat dosen bermasalah, mengapa UMMat tidak?
Ini pertanyaan yang kami ingin dengarkan dan harus dijawab oleh Ketua BPH UMMat terhormat Apakah ada pertimbangan politis sehingga pelaku tidak dipecat? Apakah takut reputasi kampus rusak? Justru membiarkan pelanggar etika tetap mengajar lebih merusak nama baik UMMAT. Atau tidak ada keberanian moral untuk mengambil keputusan sulit?
Jika tidak ada kejelasan, UMMat akan kehilangan kepercayaan publik sebagai kampus yang mengedepankan nilai Islam. BPH UMMAT Harus Berani Bertindak atau Mundur! Diamnya BPH UMMat dalam kasus ini adalah pengkhianatan terhadap nilai Muhammadiyah. Jika mereka tidak mampu menegakkan etika dilingkungan sendiri, apakah pantas masih dipercaya memimpin kampus?
Kami menuntut Penjelasan resmi dan transparan dari BPH UMMat, Pemecatan dosen terlibat jika terbukti bersalah dan Reformasi sistem pengawasan etika di UMMAT agar tidak ada lagi pembiaran.
Post a Comment