BIMBINGAN DOSEN PERFEKSIONIS

 

Ilustrasi by: Artificial intelligence


Penulis: Chairil Anhar


Bagi sebagian besar mahasiswa, masa-masa skripsi sering dianggap sebagai mimpi buruk yang tidak ingin diingat lagi. Banyak cerita horor tentang bagaimana mahasiswa terjebak dalam revisi tanpa akhir, dosen pembimbing yang sulit ditemui, hingga tekanan mental yang membuat banyak orang menyerah sebelum garis finish. Akan tetapi, pengalaman saya pribadi sedikit berbeda. Setelah benar-benar melewati proses tersebut, saya menyadari bahwa skripsi tidak menakutkan seperti yang sering dibicarakan orang.


Skripsi memang menantang, melelahkan, bahkan kadang menguras emosi. Namun, musuh terbesar dalam proses skripsi bukanlah dosen pembimbing yang galak, bukan pula pertanyaan orang sekitar yang sering menanyakan “kapan wisuda?” atau “sudah sampai bab berapa?”. Musuh utama justru datang dari diri sendiri: rasa malas yang tiba-tiba muncul kapan saja, kebiasaan menunda-nunda pekerjaan, hingga lingkungan yang kurang mendukung. Semua itu lebih berbahaya dibandingkan revisi demi revisi.


Saya baru benar-benar menyadari hal ini ketika sudah melewati perjalanan panjang skripsi. Setelah merenung dan merekap kembali pengalaman saya, ternyata yang paling sering menghambat bukanlah sulitnya teori atau metode penelitian, melainkan diri sendiri yang sering kalah oleh rasa mager, tidak konsisten, dan mudah terdistraksi.


PROSES SKRIPSI


Di fakultas saya, proses pengajuan skripsi tidak bisa dibilang sederhana. Ada sederet prosedur administratif yang harus dipenuhi: mulai dari mengumpulkan berkas-berkas, menyiapkan proposal penelitian, hingga melewati tahap seleksi topik. Semua itu membutuhkan waktu, kesabaran, dan tentu saja keseriusan.


Salah satu tantangan terbesar adalah menentukan topik penelitian. Tidak semua ide bisa langsung disetujui dosen pembimbing. Ada kalanya topik yang kita anggap menarik justru dianggap kurang relevan, terlalu luas, atau bahkan terlalu sempit. Proses ini sering kali menimbulkan drama. Banyak mahasiswa yang akhirnya mengganti topik berkali-kali hanya demi mendapat persetujuan. Saya pun sempat mengalaminya.


Setelah topik diterima, perjuangan berikutnya adalah mencari referensi. Di sinilah mahasiswa diuji: apakah benar-benar mau belajar dan menggali literatur, atau hanya sekadar copy-paste dari penelitian sebelumnya. Saya memilih untuk berusaha mencari sumber-sumber yang valid, meski pada akhirnya tetap merasa kurang. Kadang, satu paragraf bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya karena saya terlalu lama memikirkan susunan kalimatnya.


Belum lagi soal dosen pembimbing yang sulit ditemui. Ada kalanya chat yang dikirim baru dibalas berhari-hari kemudian. Bahkan ketika mendapat balasan pun, sering diarahkan untuk konsultasi online. Alih-alih membuat jelas, bimbingan online kadang justru membuat saya semakin bimbang. Saran yang diberikan sering terlalu singkat, padahal masalah yang saya hadapi cukup kompleks. Namun, di situlah saya belajar untuk mandiri.


Setengah perjalanan skripsi, saya mulai memahami pola bimbingan. Dosen pembimbing tidak akan memberikan semua jawaban secara instan. Mereka justru sengaja memberi arahan sedikit demi sedikit agar mahasiswa terbiasa berpikir kritis. Meskipun awalnya terasa menyebalkan, lama-lama saya sadar bahwa itu adalah bagian dari proses pembelajaran.


Tentu saja, saya tidak bisa mengerjakan skripsi terus-menerus tanpa henti. Ada kalanya saya perlu rehat, keluar sejenak untuk menyegarkan pikiran. Pergi ke kedai kopi, berjalan ke pantai, atau sekadar nongkrong bersama teman sering menjadi pelarian yang efektif. Namun, saya juga menyadari bahwa refreshing tanpa batas bisa menjadi jebakan. Di sinilah pentingnya memiliki support system.


Support system yang saya maksud bukan hanya keluarga atau sahabat, tapi juga lingkungan yang mendukung secara emosional maupun motivasi. Ada teman yang selalu mengingatkan untuk segera mengerjakan, ada juga dosen yang diam-diam memberikan semangat lewat kritiknya. Semua itu membuat saya tetap berada di jalur yang benar.


KARAKTER DOSEN PEMBIMBING


Nah, bagian yang paling berkesan tentu saja tentang dosen pembimbing saya. Beliau memiliki karakter yang perfeksionis, disiplin, tepat waktu, tegas, bahkan tidak segan memarahi mahasiswa bimbingannya. Bagi sebagian orang, tipe dosen seperti ini bisa menjadi mimpi buruk. Tidak sedikit mahasiswa yang merasa mentalnya down karena sering ditegur dengan keras.


Saya pun mengalaminya. Hampir setiap kali bimbingan, ada saja kritik tajam yang dilontarkan. Namun, saya mencoba untuk tidak patah semangat. Saya percaya bahwa di balik ketegasan dosen, ada niat baik untuk mendidik dan membentuk mental mahasiswa agar lebih kuat. Namanya juga dosen pembimbing, tentu ingin memberikan yang terbaik bagi mahasiswa bimbingannya.


Ketika memasuki bimbingan Bab IV dan V, intensitas teguran semakin tinggi. Dosen saya sering mengingatkan agar saya lebih banyak belajar. Mungkin karena saya sering tidak bisa menjawab pertanyaan yang beliau lontarkan. “Gimana mau maju sidang kalau ditanya aja nggak bisa jawab?” begitu kata beliau suatu ketika. Kata-kata itu terasa menohok, tapi justru menjadi cambuk agar saya lebih giat belajar.


Yang membuat saya sering merasa iri adalah ketika melihat teman-teman lain bimbingannya lancar. Ada dosen yang ketika mahasiswa tidak bisa menjawab, langsung memberikan arahan agar paham. Sedangkan saya, lebih sering disuruh mencari jawaban sendiri. Saat itu saya sempat bertanya-tanya, kenapa saya diperlakukan lebih keras? Namun, setelah dipikir-pikir lagi, mungkin justru karena dosen saya ingin saya belajar mandiri.


SAAT SIDANG


Akhirnya, tibalah pada tahap yang paling ditunggu sekaligus ditakuti: sidang skripsi. Beberapa hari sebelum sidang, rasa khawatir mulai muncul. Saya merasa belum sepenuhnya paham dengan isi skripsi saya sendiri. Apalagi, dosen pembimbing saya selalu menekankan agar saya mencari tahu sendiri, tanpa banyak bantuan. Saya pun sempat membayangkan bagaimana jika saat sidang saya benar-benar tidak bisa menjawab pertanyaan penguji.


Ketakutan saya semakin menjadi ketika tahu bahwa salah satu dosen penguji terkenal dengan banyaknya pertanyaan. Benar saja, saat sidang berlangsung, hampir semua bagian skripsi saya ditanyakan. Dari metode, analisis data, hingga kesimpulan. Ada beberapa pertanyaan yang bisa saya jawab dengan lancar, tetapi tidak sedikit juga yang membuat saya kebingungan.


Namun, di luar dugaan, dosen pembimbing saya justru memberikan bantuan ketika saya mulai kebingungan. Beliau memberikan gambaran kecil tentang maksud pertanyaan penguji sehingga saya bisa memahami arahnya. Bahkan, ada beberapa kali beliau turut membantu menjawab ketika saya benar-benar tidak bisa menjelaskan dengan tepat.


Momen itu membuat saya sadar bahwa meskipun selama bimbingan dosen terlihat keras dan tegas, pada akhirnya beliau tetap mendukung penuh mahasiswanya. Mungkin memang itu gaya beliau: mendidik dengan cara keras agar kita siap menghadapi situasi sulit, tapi tetap menjaga agar kita tidak benar-benar jatuh.


Sidang pun akhirnya selesai. Hasilnya tidak perlu saya ceritakan panjang lebar di sini, yang jelas saya hanya mendapat revisi minor. Bagi saya, itu sudah lebih dari cukup.


REFLEKSI


Dari seluruh perjalanan panjang skripsi, saya belajar banyak hal. Pertama, skripsi bukan sekadar menulis laporan penelitian, melainkan proses membentuk diri. Kita belajar tentang disiplin, tanggung jawab, dan bagaimana mengelola rasa malas. Kedua, karakter dosen pembimbing, sekeras apa pun, tetap membawa manfaat. Kritik yang pedas sekalipun sebenarnya adalah bentuk perhatian agar kita menjadi lebih baik.


Ketiga, saya menyadari bahwa skripsi pada akhirnya adalah ujian tentang bagaimana kita mempertahankan argumen dan hasil kerja kita sendiri. Tidak masalah jika tidak bisa menjawab semua pertanyaan penguji. Yang terpenting adalah menunjukkan bahwa kita memahami apa yang kita kerjakan dan berusaha mempertahankannya dengan logis.


Terakhir, saya belajar bahwa dalam perjalanan akademik, kita tidak pernah benar-benar sendiri. Ada dosen, teman, keluarga, bahkan lingkungan sekitar yang menjadi bagian dari proses. Semua itu membentuk mozaik pengalaman yang pada akhirnya membawa kita sampai pada garis akhir.


Jadi, bagi adik-adik tingkat atau siapa pun yang sedang berjuang menyelesaikan skripsi, jangan terlalu takut. Nikmati prosesnya, kendalikan rasa malas, dan hadapi setiap tantangan dengan kepala tegak. Percayalah, skripsi memang melelahkan, tapi pada akhirnya akan menjad

i salah satu kenangan paling berharga dalam hidup kita.


Post a Comment

أحدث أقدم