![]() |
Sumber Gambar: Ilustrasi Artificial Intelligence (AI) |
Oleh: Muh. Faozhan
Dalam sejarah panjang peradaban, kaum terdidik memanggul tugas yang lebih dari sekadar memahami teori atau menguasai teknologi. Ia dituntut untuk berpikir, merasakan, dan bergerak sebuah harmoni dari cipta, rasa, dan karsa, tiga unsur ini bukan hanya bagian dari konstruksi budaya, melainkan inti dari kemanusiaan yang dibentuk oleh pengalaman sejarah, tanah, dan air yang melahirkan kita.
Cipta, dalam pengertian terdalamnya, adalah daya pencipta bukan sekadar kecerdasan logis, tetapi imajinasi moral. Kaum terdidik tidak cukup hanya mampu menciptakan sistem atau algoritma, tetapi ia harus bertanya "Apakah ciptaanku ini menghidupkan kemanusiaan, atau justru membekukannya?" Dalam dunia yang didorong oleh kecepatan dan efisiensi, kemampuan untuk mengendapkan pikiran sebelum mencipta adalah laku yang langka. Kaum terdidik ditantang untuk membumikan ilmu, tanpa kehilangan langit imajinasi.
Rasa adalah kepekaan yang melampaui simpati. Ia adalah kemampuan membaca jerit yang tidak terucap, memahami luka yang tidak berdarah. Di negeri yang kaya akan penderitaan yang disenyapkan, kaum terdidik seharusnya menjadi mereka yang memilih untuk tidak tuli. Rasa mengajak kita untuk tidak hanya tahu, tetapi juga peduli. Rasa adalah nurani kolektif yang menjembatani jurang antara pengetahuan dan keadilan.
Karsa adalah kehendak untuk bertindak bukan sekadar niat, tetapi keberanian untuk memilih jalan yang mungkin tidak populer, tetapi benar. Kaum terdidik yang sejati adalah mereka yang tidak hanya mengkritik dari menara gading, melainkan turun menapak lumpur bersama yang terpinggirkan. Karsa adalah api yang menyalakan perubahan. Tanpa karsa, cipta dan rasa hanya menjadi wacana.
Namun, hari ini kita menyaksikan ironi, banyak kaum terdidik yang kehilangan ketiganya. Ilmu menjadi alat prestise, bukan jalan kebijaksanaan. Rasa diganti oleh angka-angka statistik. Karsa dilumpuhkan oleh kenyamanan. Yang tertinggal adalah tubuh-tubuh terpelajar, tetapi miskin tanggung jawab moral.
Maka, tugas kaum terdidik adalah membangunkan kembali daya cipta yang merdeka, menajamkan rasa yang hidup, dan menggerakkan karsa yang berpihak pada kehidupan. Bukan kehidupan dalam makna biologis belaka, tetapi kehidupan yang utuh yang adil, yang bermartabat, yang penuh cinta.
Seperti yang ditulis Pramoedya, "Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan." Maka bagi manusia yang terdidik, tantangannya bukan hanya menjadi tahu, tetapi menjadi sadar.
إرسال تعليق