![]() |
Sumber gambar: Penulis |
Mahasiswa dan Wajah Pengabdian yang Kian Memudar
Oleh: Aldi Irawan
Salah satu pilar utama Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah "pengabdian kepada masyarakat". Sebuah prinsip luhur yang seharusnya membentuk kesadaran sosial mahasiswa untuk kembali ke akar: rakyat. Namun hari ini, tak bisa kita pungkiri, wajah pengabdian itu perlahan memudar. Mahasiswa semakin nyaman hidup dalam euforia kota, sibuk dengan seminar dan konten media sosial, tetapi lupa pulang bukan sekadar ke desa tempat asalnya, tapi juga ke realitas sosial masyarakat yang semestinya mereka perjuangkan.
Banyak dari kita, kaum intelektual muda, lebih memilih berada dekat dengan kekuasaan daripada dekat dengan rakyat. Kita dengan mudah datang menghadiri undangan pejabat, namun berpikir seribu kali untuk datang ke forum warga. Kita bangga menyebut diri agen perubahan, tetapi tak tahu perubahan seperti apa yang ingin kita bawa untuk mereka yang tinggal jauh dari pusat kebijakan.
Dalam catatan sejarah, kaum muda dan mahasiswa sering kali menjadi penggerak perubahan besar karena keberpihakan mereka terhadap rakyat tertindas. Sosok seperti Tan Malaka pernah berkata, "Sebab kita hendak membentuk masyarakat baru, masyarakat adil dan makmur, maka kita harus menyatu dengan rakyat, belajar dari mereka, dan bekerja untuk mereka." Kutipan ini mestinya menjadi pengingat bahwa ilmu yang kita dapat bukan sekadar untuk membentuk CV atau memuaskan ambisi pribadi, melainkan untuk menjawab persoalan rakyat.
Kini, pertanyaannya: mengapa mahasiswa makin enggan kembali ke masyarakat? Salah satunya karena pengabdian dianggap kurang prestisius. Bekerja dalam program kementerian atau proyek pemerintah lebih menggiurkan ketimbang menyambung asa petani miskin di desa. Kita mulai mengabdi kepada pejabat, bukan kepada rakyat. Lalu kita lupa bahwa rakyatlah yang paling murni mencerminkan kebutuhan dan keadilan sosial.
Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan sosialis, menulis dalam Pedagogy of the Oppressed, "The great humanistic and historical task of the oppressed is to liberate themselves and their oppressors as well." Mahasiswa, sebagai kelompok terdidik, seharusnya menjadi jembatan kesadaran kritis itu, bukan malah menjadi alat legitimasi kekuasaan yang menjauh dari realitas.
Kini saatnya kita bertanya ulang: untuk siapa kita belajar? Untuk apa kita hidup sebagai mahasiswa? Jika jawabannya bukan untuk rakyat, maka ada yang keliru dalam cara kita memahami Tri Dharma. Ilmu yang tidak berpihak kepada masyarakat, hanyalah pengetahuan kering yang tak punya daya ubah.
Mari kita pulang. Bukan hanya pulang secara geografis, tapi juga secara ideologis menghadirkan kembali semangat pengabdian yang berpihak kepada mereka yang selama ini hanya menjadi objek pembangunan: masyarakat itu sendiri.
إرسال تعليق