KUHP Baru Mengancam Kebebasan Berpendapat Di Muka Umum

 

Foto: Penulis 

Penulis: Erwin Setiawan 

Editor: Irawan


Pada awal januari 2026 KUHP baru akan diberlakukan sebagai dasar hukum pidana di Indonesia menggantikan KUHP lama warisan Kolonial Belanda yang disahkan melalui Staatsblad tahun 1915 nomor732 dan berlaku sejak 1 Januari 1918 yang disahkan melalui UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP baru, yang terdiri dari 37 bab, 624 Pasal dan 345 halaman. KUHP baru juga memiliki beberapa perubahan signifikan dibandingkan KUHP lama, antara lain penghapusan kategori kejahatan dan pelanggaran yang awalnya dibedakan, serta pengakuan terhadap keberadaan hukum yang hidup di tengah masyarakat.


 Pengakuan terhadap hukum yang hidup di tengah masyarakat yang bentuknya tidak tertulis bertentangan dengan asas legalitas pasal 1 ayat 1 KUHP baru, menyatakan bahwa “tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam perperaturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan”, berarti tidak ada delik dan tidak ada pidana tanpa ada peraturan yang mengaturnya terlebih dahulu.


Terlepas dari asas legalitas ada beberapa pasal kontroversial didalam KUHP baru salah satunya ialah pasal 240 KUHP baru berbunyi “setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV” berarti tidak boleh lagi mengkritik pemerintah sebagai pejabat public hal ini menurunkan nilai demokrasi kita padahal hal itu sudah dijamin oleh pasal 28 E ayat 3 tentang kebebasan berpendapat di muka umum. 


Yang menjadi persoalannya ialah pemerintah merupakan figure public sebagai representasi dari rakyat untuk mengelola negara ini yang boleh dikritik sebagai bentuk cinta dan masukan untuk negara ini. Pada dasarnya pemerintah adalah Lembaga bukan orang perseorangan yang tidak boleh di kritik karena itu melanggar pada kebebasan tadi. Ketidaktepatgunaan pasal ini pada dasarnya keliru karena pemerintah, adalah organ pemerintahan dalam arti luas dan bukanlah individu. Pun ketika mereka dikritik atau dihujat oleh masyarakat, adalah semata-mata karena posisinya sebagai pejabat public. Apa yang dilakukan pemerintah dengan mengaktifkan kembali pasal-pasal ini jelas sebuah kemunduran dalam kebebasan demokrasi. Tidak ada yang salah dari mengkritik kebijakan yang dibuat oleh sosok yang dipilih oleh rakyatnya sendiri secara langsung dalam perhelatan besar di tiap periode Pemilu. Pemerintah malah memilih fokus pada percepatan pembuatan KUHP yang lebih kolonial dari KUHP buatan Kolonial itu sendiri.


Lebih-lebih kita sebagai mahasiswa dan anak muda sebagai agen of social control dan agen of change, yang memiliki tanggung jawab moral serta sebagai jembatan Masyarakat yang sering bersuara dan menyampaikan pendapat akan dibungkam dengan pasal itu karena pada dasarnya pemerintah tidak memiliki martabat karena dia adalah pejabat public yang secara terbuka harusn menerima segala bentuk cacian, kritikan, dan hinaan dari warga negara itu sendiri.

Post a Comment

Previous Post Next Post