Koperasi Desa Merah Putih: Menyanyikan Indonesia Raya, tapi Nyicil ke Bank ?

 

Sumber foto : Penulis 


Oleh : Fathullah 


Di ujung jalan desa yang berdebu, di mana anak-anak masih main layangan dan ibu-ibu nyuci di sungai, sebuah program baru dengan nama gagah muncul: Koperasi Desa Merah Putih. Dari namanya saja, kita sudah auto membayangkan bendera berkibar, gotong royong, dan semangat kebangsaan yang membuncah. Tapi tenang dulu, sebelum terharu, mari kita telusuri lebih dalam: ini gerakan pemberdayaan desa, atau... jebakan Batman edisi elite politik?


Program ini mengklaim diri sebagai penopang ekonomi desa. Katanya, koperasi akan dibentuk di tiap desa, modalnya berasal dari pinjaman bank Himbara, dan cicilannya... dari dana desa! Iya, dana desa yang katanya buat jalan rusak, irigasi jebol, dan insentif lansia itu, sekarang harus “nyicil koperasi”.


Kalau ini sinetron, maka bagian inilah musik latar mencekam diputar. Menurut studi dari CELIOS (Center of Economic and Law Studies), sebanyak 76% perangkat desa menolak skema pembiayaan ini. Mereka keberatan karena pendanaan koperasi dipaksakan lewat pinjaman bank, padahal masih banyak kebutuhan desa yang lebih mendesak: sawah kekeringan, anak stunting, jalan rusak mirip kubangan.


Tapi tenang, pemerintah pusat tetap semangat. Katanya ini demi “kemandirian desa”. Lucu ya, desa disuruh mandiri, tapi modalnya nyicil ke bank dan disuruh kompak nyumbang lewat dana desa.


Celios juga mencatat, 65% perangkat desa menyoroti lemahnya tata kelola koperasi ini. Banyak yang mencium aroma sedap korupsi terselubung. Bahkan, 46% menilai program ini bisa memicu konflik sosial. Bayangkan, warga ribut cuma gara-gara dana desa dikuras buat koperasi yang nggak jelas untungnya.


Dan ini yang paling lucu sekaligus tragis: 35% responden mencurigai bahwa koperasi ini bukan sekadar koperasi, tapi kendaraan politik. Wah, kalau benar, artinya kita sedang menyaksikan kisah lama dengan kostum baru: rakyat dijadikan bahan bakar kampanye elite.


Bayangkan, tiap desa bisa dikuras hingga Rp420 juta per tahun buat bayar cicilan koperasi. Totalnya bisa ratusan triliun se-Indonesia. Ini sudah mirip investasi unicorn, bedanya kalau gagal, yang bangkrut bukan startup, tapi desa.


Yang paling menyedihkan adalah gaya pikirnya: seolah-olah desa itu ladang kosong yang bisa diatur dari Jakarta. Lupa bahwa setiap desa punya karakter, kebutuhan, dan prioritas berbeda. Desa pegunungan tentu beda dengan desa pesisir, tapi yang menyusun kebijakan malah kadang belum pernah menginap di rumah kepala dusun.


Warga desa bukan objek pembangunan. Mereka bukan anak kecil yang perlu dibelikan mainan supaya senang. Tapi ya, kadang negara memperlakukan mereka seperti itu. Seakan “asal ada koperasi”, masalah selesai. Padahal realitasnya: koperasi bisa mandek, bisa disalahgunakan, bisa bikin konflik baru, terutama kalau dikelola tanpa transparansi.


Program seperti ini mestinya lahir dari dialog panjang dengan warga desa, bukan dari meja-meja elit politik yang sedang menghitung elektabilitas. Maka, pertanyaan kita: apakah Koperasi Merah Putih ini benar-benar program pemberdayaan? Atau sebenarnya cuma “ATM politik” yang sedang disamarkan?


Mari kita tidak anti dengan koperasi. Koperasi itu bisa sangat bermanfaat kalau lahir dari bawah, dikelola transparan, dan sesuai kebutuhan warga. Tapi kalau koperasi lahir dari pinjaman paksa, tanpa musyawarah, dan orientasinya bukan rakyat... ya itu bukan koperasi, tapi koperaksi: koperasi aksi sepihak.


Jadi, ketika ada spanduk bertuliskan "Membangun Desa Lewat Koperasi Merah Putih", mari kita bertanya pelan-pelan: siapa yang membangun, siapa yang membayar, dan siapa yang untung? Karena di negeri ini, tak semua yang bernama nasionalis itu bebas dari kepentingan. Kadang, di balik merah putih, ada tagihan bank yang menunggu lunas.

1 Comments

  1. Masyaallah...terima kasih dimensi ummat sudah bersedia menebarkan hasil pemikiran2 seperti ini

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post