![]() |
Foto Penulis |
KKN dan Misi Sosial Mahasiswa: Antara Realita dan Harapan
Oleh: Aldi Irawan
Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan program pengabdian yang didesain sebagai jembatan antara kampus dan masyarakat. Mahasiswa diturunkan ke desa dengan semangat membawa perubahan sosial. Dalam bayangan ideal, mahasiswa datang bukan hanya sebagai pelajar, tapi juga sebagai agen pemberdayaan. Namun, idealisme itu tak selalu sejalan dengan kenyataan di lapangan.
Di banyak wilayah, KKN hanya menjadi formalitas tahunan. Program-program yang dibawa sering kali tidak berdasarkan kebutuhan riil masyarakat, melainkan hasil "template" dari tahun-tahun sebelumnya. Warga menyambut dengan sopan, mahasiswa bekerja dengan seadanya, lalu semuanya kembali seperti semula. Ini mencerminkan adanya jurang antara harapan besar misi sosial mahasiswa dan realita pelaksanaan KKN yang dangkal.
Seharusnya, KKN menjadi ruang aktualisasi nilai-nilai sosial yang sejati. Dalam konteks ini, Antonio Gramsci, seorang pemikir sosialis asal Italia, menawarkan gagasan penting tentang peran intelektual organik. Baginya, intelektual sejati bukan mereka yang terasing dalam dunia teoritis, tetapi yang hidup bersama rakyat dan menjadi bagian dari perjuangan sosial mereka.
“Semua orang adalah intelektual, tetapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual dalam masyarakat.” Antonio Gramsci
Mahasiswa, sebagai bagian dari kalangan terdidik, seharusnya berperan sebagai intelektual organik yang tidak hanya memahami persoalan masyarakat dari jauh, tetapi juga terlibat langsung, menyatu dengan dinamika lokal, dan membantu menumbuhkan kesadaran kritis di tengah warga. KKN harus lebih dari sekadar hadir. Ia harus berarti.
Senada dengan Gramsci, Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya pendekatan yang menghormati masyarakat sebagai subjek dalam pendidikan dan pembangunan. Prinsip "Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" mengingatkan kita bahwa dalam proses KKN, mahasiswa harus bisa memberi teladan, membangun semangat bersama, sekaligus belajar dari belakang.
Bahkan jauh sebelum itu, Soekarno pernah berkata:
“Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.”
Ini bukan soal jumlah, tetapi soal kesadaran dan keberanian mahasiswa untuk hadir di tengah masyarakat sebagai pelaku perubahan, bukan penggugur SKS.
Dalam praktiknya, masih ada KKN yang berdampak positif terutama yang menggunakan pendekatan partisipatif, riset awal, dan membangun kolaborasi jangka panjang. Namun, ini perlu jadi standar, bukan pengecualian.
Kampus juga punya peran penting. KKN tidak boleh hanya dikelola sebagai agenda administrasi, tapi harus diposisikan sebagai pengalaman transformatif. Perlu evaluasi berkelanjutan, pelatihan yang memadai, dan ruang untuk inovasi mahasiswa.
Akhirnya, KKN bisa menjadi ruang kontemplasi sosial: apakah kita benar-benar peduli, atau hanya berpura-pura? Apakah kita datang untuk belajar, atau hanya ingin "menyelesaikan tugas"?
KKN akan terus ada setiap tahun. Tapi apakah setiap tahunnya masyarakat semakin diberdayakan? Atau justru KKN hanya menjadi tamasya akademik yang berulang tanpa kesan? Di sinilah kita diuji apakah benar kita mahasiswa, atau hanya sekadar pengunjung bertitel sarjana masa depan.
Post a Comment