Oleh Agil A-M
Mahasiswa FH Ummat
Raja Ampat, surga biodiversitas laut dunia, berada di persimpangan kritis. Ancaman pertambangan nikel yang merusak ekosistem laut dan hutan alami, sebagaimana dilaporkan Greenpeace dan berbagai media, mencerminkan kegagalan tata kelola sumber daya alam yang berkeadilan. Lebih dari 500 hektare hutan telah dibabat, dan limbah tambang mengancam terumbu karang, rumah bagi 75% spesies karang dunia. Dalam konteks ini, teori kritis Jürgen Habermas, khususnya konsep communicative action, menawarkan kerangka emansipatoris untuk merumuskan kebijakan yang melindungi Raja Ampat sekaligus memberdayakan masyarakat adat sebagai penjaga warisan alam dan budaya.
Habermas menegaskan bahwa kebijakan yang membebaskan lahir dari ruang publik demokratis, di mana komunikasi rasional dan inklusif memungkinkan semua pihak—terutama yang termarginalkan—berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Di Raja Ampat, pendekatan ini relevan untuk mengatasi paradoks: dorongan global menuju energi hijau melalui pertambangan nikel justru mengorbankan ekosistem rentan dan hak masyarakat adat. Kebijakan berbasis komunikasi harus mengutamakan dialog terbuka, menghindari rasionalitas instrumental yang mengesampingkan keadilan ekologis dan sosial demi kepentingan kapital. Transformasi ini mendesak untuk memastikan Raja Ampat tetap menjadi warisan dunia, bukan zona ekstraksi.
Penerapan teori Habermas menuntut perubahan paradigma dari kebijakan administratif-ekstraktif menuju model deliberatif yang mengedepankan keadilan dan keberlanjutan. Pertama, pemerintah harus menempatkan masyarakat adat sebagai pemangku kepentingan utama, bukan sekadar objek kebijakan. Pengetahuan lokal mereka tentang ekosistem adalah aset tak ternilai. Kedua, kebijakan harus berbasis data dan melibatkan akademisi, teknokrat, serta organisasi masyarakat sipil untuk merumuskan solusi visioner. Ketiga, ruang publik harus diperkuat melalui kampanye nasional dan internasional, seperti #SaveRajaAmpat, untuk mendorong akuntabilitas pemerintah dan perusahaan.
Tantangan utama adalah politisasi kebijakan dan dominasi oligarki tambang, yang sering memanfaatkan celah hukum, seperti mekanisme “pelepasan kawasan hutan” dalam UU Kehutanan No. 41/1999. Habermas mengingatkan bahwa tanpa koreksi berbasis pengetahuan dan dialog, kebijakan akan rapuh dan cenderung melayani kepentingan elit. Oleh karena itu, pemerintah harus bertindak tegas untuk menyelamatkan Raja Ampat, mewujudkan emansipasi sosial dan ekologis yang sejati melalui langkah-langkah konkret.
Langkah Kebijakan Pemerintah
Berdasarkan prinsip teori Habermas dan dinamika di Raja Ampat, berikut langkah-langkah konkret yang dapat diambil pemerintah:
1. Moratorium Permanen dan Pencabutan Izin Pertambangan
Pemerintah harus menetapkan moratorium permanen terhadap pertambangan di Raja Ampat dan mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP), terutama yang melanggar regulasi lingkungan, seperti milik PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP). Langkah ini diperkuat oleh Putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023 yang melarang pertambangan di pulau kecil karena risiko kerusakan permanen. Penegakan hukum yang konsisten akan melindungi status Raja Ampat sebagai Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan UNESCO Global Geopark.
2. Penguatan Hak Hukum Masyarakat Adat
Hak atas tanah dan perairan ulayat masyarakat adat harus diakui secara hukum. Pemerintah dapat membentuk regulasi yang memastikan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan, misalnya melalui dewan adat dengan hak veto terhadap proyek ekstraktif. Pemberdayaan ekonomi melalui ekowisata berkelanjutan juga memperkuat posisi mereka sebagai penjaga ekosistem.
3. Pembentukan Ruang Publik Deliberatif
Pemerintah harus menciptakan forum dialog lintas sektor yang transparan, melibatkan masyarakat adat, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil. Forum ini dapat menghasilkan kebijakan yang berbasis data, seperti pengembangan Raja Ampat sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) berbasis quality tourism, dengan koordinasi bersama Dewan Ekonomi Nasional (DEN).
4. Reformasi Proses Perizinan Berbasis Ekologi
Proses perizinan tambang harus direformasi menjadi berbasis ekologis. Pemerintah perlu meninjau ulang izin yang mengabaikan dampak lingkungan dan memastikan izin baru hanya diberikan setelah kajian lingkungan ketat serta konsultasi publik, sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
5. Kampanye Publik Nasional dan Internasional
Bersama organisasi seperti Greenpeace, pemerintah harus mendukung kampanye seperti #SaveRajaAmpat untuk meningkatkan kesadaran global. Kampanye ini memperkuat tekanan kolektif terhadap pelaku industri ekstraktif dan mendorong komitmen pemerintah untuk menjaga Raja Ampat sebagai destinasi wisata berkelanjutan.
6. Penguatan Peran Teknokrat dan Akademisi
Melibatkan teknokrat dan akademisi, seperti Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), dalam perumusan kebijakan memastikan pendekatan berbasis pengetahuan. Mereka dapat menjembatani data ilmiah dengan kebutuhan praktis pengambilan keputusan.
7. Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas
Pemerintah dapat mendorong ekowisata berkelanjutan, seperti program homestay komunitas dan Festival Pesona Raja Ampat. Ini mendukung perekonomian lokal sekaligus memperkuat identitas Raja Ampat sebagai destinasi wisata, bukan zona tambang.
Menyelamatkan Raja Ampat bukan hanya tentang melindungi keanekaragaman hayati, tetapi juga mewujudkan keadilan sosial dan ekologis. Dengan pendekatan komunikasi deliberatif ala Habermas, pemerintah dapat menciptakan kebijakan yang membebaskan, memberdayakan masyarakat adat, dan menjaga warisan dunia ini untuk generasi mendatang. Moratorium pertambangan, penguatan hak adat, dan reformasi perizinan adalah langkah mendesak. Seperti kata Mohammad Hatta, kekayaan alam Indonesia harus dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, bukan segelintir elit. Mari bersatu menjaga Raja Ampat, karena menjaga alam berarti menjaga masa depan kita.
إرسال تعليق