Penulis : Ade Yudiansyah
Editor : Erwin Setiawan
Setiap lima tahun, bangsa Indonesia memasuki fase kontestasi politik yang secara populer disebut sebagai "pesta demokrasi" atau "pesta rakyat". Dalam momentum ini, hampir seluruh partai politik secara serempak menyuarakan komitmen mereka terhadap kepentingan rakyat. Mereka mengklaim bahwa seluruh agenda yang dibawa dalam forum-forum legislatif dan eksekutif adalah representasi dari aspirasi masyarakat. Namun, pernyataan semacam itu patut dipertanyakan secara kritis, mengingat semakin menguatnya ketimpangan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat.
Fakta lapangan menunjukkan bahwa meskipun jargon kerakyatan kerap didengungkan, kebijakan yang dihasilkan justru sering kali menguntungkan kelompok elite dan pemilik modal. Rakyat, yang diklaim sebagai subjek utama dalam demokrasi, dalam praktiknya cenderung hanya menjadi objek politik yang dimobilisasi pada saat pemilu berlangsung.
Setelah kekuasaan diraih, suara rakyat seakan kehilangan relevansinya dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini mengindikasikan adanya distorsi representasi dalam sistem demokrasi Indonesia, di mana kepentingan publik kerap dikalahkan oleh kompromi politik dan kepentingan pragmatis.
Kondisi tersebut menuntut refleksi kritis terhadap praktik politik elektoral yang tidak hanya gagal merealisasikan janji-janji kampanye, tetapi juga memperparah jurang sosial di masyarakat. Demokrasi yang idealnya menjadi instrumen pemerataan kesejahteraan dan keadilan sosial, perlahan tergerus menjadi mekanisme formal semata—menyisakan rakyat dalam posisi yang termarjinalkan secara sistemik.
Setiap masa kampanye, para calon selalu menyuarakan janji bahwa seluruh rakyat Indonesia akan mendapatkan pelayanan yang layak dari pemerintah, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, ketenagakerjaan, maupun kesehatan. Namun, pada kenyataannya, janji-janji tersebut sering kali hanya sekadar omong kosong."
Selama masa kampanye, Prabowo Gibran dengan slogan perubahan menyampaikan bahwa berbagai permasalahan dapat diselesaikan dengan mudah, asalkan masyarakat Indonesia memberi mereka kesempatan untuk memimpin.
Awalnya mereka menjanjikan memperbaiki seluruh sarana dan prasarana di setiap wilayah di Indonesia, mulai dari tingkat pendidikan. Kebanyakan masyarakat Indonesia tidak mendapatkan akses pendidikan yang memadai.
Presiden Prabowo-Gibran dalam kampanyenya menjanjikan layanan kesehatan gratis bagi seluruh masyarakat Indonesia sebagai bagian dari upaya mewujudkan "regenerasi emas." Namun, realisasi janji tersebut tampaknya belum sejalan dengan kondisi di lapangan. Banyak masyarakat kelas menengah menghadapi kendala birokratis saat mengakses layanan kesehatan, baik di puskesmas maupun rumah sakit. Prosedur administratif yang kompleks, seperti keharusan melampirkan berbagai dokumen, justru memperlambat proses pelayanan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis apakah bentuk pelayanan semacam ini mencerminkan keberpihakan kepada rakyat, khususnya kelompok menengah yang telah memberikan mandat politik kepada mereka? Indikasi ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap kebutuhan rakyat tampaknya hanya menjadi prioritas menjelang pemilihan umum, sehingga menimbulkan kesan bahwa aspirasi rakyat dimanfaatkan secara pragmatis setiap lima tahun sekali.
Post a Comment