![]() |
Sumber gambar: penulis |
Oleh: Muh. Faozhan
Fenomena menurunnya semangat kritis dan kepedulian sosial mahasiswa bisa dilihat sebagai krisis makna dan arah. Filsuf Ludwig Wittgenstein mengatakan bahwa batas bahasa kita adalah batas dunia kita. Artinya, ketika mahasiswa tidak lagi menggunakan bahasa yang mencerminkan kepedulian, perjuangan, dan refleksi, maka dunia yang mereka pahami pun menjadi sempit. Bahasa yang tadinya kritis dan sarat makna kini tergantikan oleh istilah-istilah kosong, formalitas akademik, atau tren media sosial.
Baca juga : https://www.dimensiummat.id/2024/10/kehilangan-suara-mahasiswa_22.html
Wittgenstein dalam karya lanjutannya juga menekankan bahwa makna terbentuk dari bagaimana bahasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari (language games). Dalam hal ini, mahasiswa kini cenderung memainkan “permainan bahasa” yang jauh dari realitas rakyat. Mereka lebih sibuk dengan bahasa prestasi, kompetensi pasar, dan individualisme, sehingga lupa bahwa peran utamanya adalah menjadi penyambung lidah rakyat.
Pemikiran ini diperkuat oleh Eko Prasetyo, yang menyebut mahasiswa sebagai kelompok menengah yang memiliki tanggung jawab moral terhadap kaum miskin. Eko mengkritik sistem pendidikan yang telah menjadikan mahasiswa sebagai produk industri, bukan lagi agen perubahan. Mereka didorong untuk menjadi pekerja yang patuh, bukan pemikir yang kritis. Akibatnya, semangat sosial dan kepekaan terhadap ketidakadilan pun hilang.
Baca juga : https://www.dimensiummat.id/2023/06/mapala-umm-kembali-memberikan-inovasi.html
Degradasi mahasiswa bukan hanya karena mereka malas atau apatis, tetapi karena sistem dan budaya yang menggeser bahasa, makna, dan posisi mereka dalam masyarakat. Untuk bangkit dari kondisi ini, mahasiswa perlu kembali menghidupkan bahasa perjuangan dan keberpihakan, serta terlibat aktif dalam realitas sosial, bukan hanya dalam ruang akademik, tetapi membangun kembali dunia yang lebih luas lewat bahasa yang hidup dalam aksi, empati, dan keberpihakan.
Post a Comment