Buku-buku yang menyimpan hati kita

Foto penulis

𝗕𝘂𝗸𝘂-𝗯𝘂𝗸𝘂 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗶𝗺𝗽𝗮𝗻 𝗵𝗮𝘁𝗶 𝗸𝗶𝘁𝗮

Oleh: Alimun

Mahasiswa UIN Matram Semester 2


Pernahkah kau memeluk buku dan merasa sedang memeluk seseorang?


Bukan sekadar kertas yang dijilid dan diberi nama, tapi seolah jiwanya menyelinap dari celah kata ke sela jari, menumpang tinggal di ruang paling sunyi di dalam dada.


Ada buku yang datang seperti hujan sore hari di balkon tua: tidak diminta, tapi menyegarkan. Ada pula yang hadir seperti tamu dari masa depan—mengetuk pikiran, lalu menyelinap ke ruang-ruang tempat mimpi kita biasa bersandar. 


Buku, dalam wujudnya yang paling ajaib, bukan sekadar benda. Ia adalah jendela yang bisa dibuka dari dalam.


Aku tak ingat betul buku pertama yang kubaca, tapi aku ingat rasa pertama yang muncul seolah dunia membentang lebih luas daripada ruang tamu dan halaman sekolah. Buku itu seperti peta, tapi yang ditunjukkannya bukan jalan pulang, melainkan jalan pergi—jalan menuju kemungkinan tak terbatas.


Buku tak pernah memaksa. Ia sabar menunggu dibuka. Dan ketika kita akhirnya mengulurkan tangan, seperti membuka pintu ke rumah lama yang penuh kenangan, ia berkata dengan lirih,

"Sudah kutunggu kau, wahai perjalanan sunyi."


Tentang buku, aku membayangkan sebuah perpustakaan desa yang dindingnya mengelupas dan lampunya redup, seorang anak laki-laki membaca kisah kehidupan Galileo. 


Di kota lain, seorang ibu menyeka air mata sambil menggenggam novel yang ditulis anaknya. Di sel penjara, buku-buku menjadi pelarian sekaligus pengingat bahwa kebebasan bisa hadir meski tak bertubuh.


Hari Buku Nasional yang jatuh pada 17 Mei 2025, bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah momen untuk mengingat bahwa kita hidup di antara kata-kata, dibentuk oleh cerita, dan diselamatkan sering kali diam-diam oleh paragraf-paragraf yang kita baca di antara dua halte, sebelum tidur, atau saat dunia terasa terlalu riuh untuk dijelaskan dengan kata sendiri.


Buku ibarat lampu minyak di zaman gelap, ia kecil, tapi terang. Ia tak mampu mengusir seluruh malam, tapi cukup untuk membuat kita tidak tersesat di satu langkah ke depan.


Dari novel hingga buku catatan harian, dari kitab kuno hingga manual pemrograman AI, manusia selalu menulis karena takut dilupakan dan membaca karena takut sendirian. Membaca adalah cara paling elegan untuk bertemu orang-orang hebat tanpa harus mengetuk pintu mereka.


Barangkali, buku tak akan menyelamatkan dunia. Tapi ia bisa menyelamatkan seseorang yang kelak akan menyelamatkan dunia.

Dan itu cukup.

Lebih dari cukup.

Mari kita rayakan buku bukan lantaran mereka berdebu di rak-rak, melainkan karena mereka pernah menjadi tempat kita tinggal sementara ketika dunia tak memberi ruang. Buku adalah rumah kedua, guru yang tak menegur, dan teman yang tak pernah pergi.


Saat cahaya layar memudar dan notifikasi berhenti berbunyi, kertas dan kata adalah hal-hal paling setia yang pernah kita genggam. 


Owh yahh, Selamat hari buku Nasional

Post a Comment

أحدث أقدم