Hilangnya Kepercayaan Masyarakat Terhadap Pemerintah Desa Sangiang

 

Dokumentasi: Foto Ardian Saputra 

Oleh: Ardian Saputra

Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa semakin tergerus akibat praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh oknum perangkat desa yang berinisial S dalam transaksi jual beli tanah. Oknum tersebut mengatasnamakan desa dan menyebutkan bahwa desa berhak mendapatkan 2% dari proses penjualan tanah tersebut dan sudah jelas perbuatan ini telah merampas hak masyarakat desa. Namun, hingga saat ini, Desa Sangiang belum memiliki Peraturan Desa (Perdes) sebagai produk hukum tertinggi yang mengatur tentang pungutan ini. Praktik pungli tersebut terjadi di tengah kondisi masyarakat yang sedang sangat sulit dan terdesak. Tanah yang seharusnya menjadi aset berharga harus dilepas karena kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda lagi. Meskipun menjual tanah bukanlah keputusan yang mudah, keadaan ekonomi yang memburuk, utang yang menumpuk, atau kebutuhan mendesak lainnya memaksa masyarakat untuk melepaskan tanah tersebut demi bertahan hidup. Kami berpendapat bahwa tindakan ini sudah terstruktur dan tersistematis, dengan dugaan kuat bahwa kejahatan ini tidak dilakukan secara individu, melainkan secara kelompok.

Pada tanggal 30 Januari 2025, kami dari Aliansi Pemuda dan Masyarakat Menggugat melakukan aksi demonstrasi jilid I di depan kantor Desa Sangiang, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima, yang kemudian dilanjutkan dengan aksi demonstrasi jilid II pada 3 Februari 2025, disaksikan oleh puluhan masyarakat desa. Namun, tidak ada tindak tegas atau keputusan yang diambil oleh kepala desa sebagai pihak tertinggi dalam pemerintahan desa, yang seharusnya memiliki hak dan wewenang untuk memberikan sanksi terhadap perangkat desa yang terlibat dalam perbuatan melawan hukum ini. Beberapa hari setelah itu, kami melaporkan permasalahan ini ke Polres Bima Kota, namun hingga saat ini belum ada kabar mengenai proses penyidikan dari pihak kepolisian. Ironisnya, jika oknum berinisial S ini tetap dipertahankan dan tidak dipecat, hal tersebut akan menciderai lembaga pemerintahan desa dan mencoreng nama baik Desa Sangiang yang sebelumnya menjadi cerminan terhadap desa-desa lain malah berbanding terbalik.

Praktik pungli ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga merusak integritas lembaga pemerintah desa yang seharusnya berfungsi untuk melindungi hak-hak warganya. Masyarakat yang berharap mendapatkan pelayanan yang adil dan transparan justru merasa kecewa karena praktik pungli yang dilakukan oleh perangkat desa tidak segera ditindaklanjuti. Respon dari pemerintah desa pun seringkali hanya berupa anjuran untuk mengadukan masalah ini kepada pihak berwenang, tanpa adanya langkah nyata yang diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. Musyawarah yang selama ini menjadi prinsip dasar dalam penyelesaian masalah di pemerintahan desa, berdasarkan semangat gotong royong dan hubungan yang baik antara pemerintah dan masyarakat, kini terasa sia-sia. Alih-alih mendapatkan solusi yang jelas, masyarakat justru merasa bahwa respons dari pemerintah desa hanya sebatas mengimbau untuk melaporkan masalah tersebut kepada pihak berwenang, tanpa ada langkah konkret untuk menanggulangi permasalahan pungli ini. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar, mengapa kepala desa tidak segera bertindak tegas untuk memberhentikan atau memberikan sanksi terhadap perangkat desa yang terlibat dalam praktik pungli.

Desa Sangiang, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima masih memegang teguh kultur kekeluargaan dan penyelesaian masalah melalui musyawarah, tetap harus diutamakan untuk mengedepankan nilai-nilai tersebut. Namun, apabila musyawarah tidak membuahkan hasil yang diharapkan dalam menyelesaikan masalah yang lebih kompleks, seperti praktik pungli, kepala desa wajib untuk mengambil langkah tegas berdasarkan aturan yang berlaku. Dalam hal ini, meskipun musyawarah tetap menjadi solusi awal, tindakan tegas dan sesuai hukum, seperti pemberhentian sementara atau pemecatan oknum perangkat desa, menjadi langkah yang diperlukan untuk menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa.

Menurut klarifikasi Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) pada tanggal 25 Januari 2025 di akun Facebook-nya, beberapa tahun yang lalu sudah dilakukan konsultasi terkait Perdes yang mengatur tentang pungutan. Pembahasan juga telah dilakukan bersama Pemerintah Desa Sangiang untuk membahas peraturan yang akan diberlakukan. Namun, hingga saat ini Perdes tentang pungutan tersebut belum disahkan. Artinya, segala pungutan yang terjadi di Desa Sangiang belum dapat dilaksanakan karena tidak ada peraturan yang mengatur hal tersebut.

Dalam konteks ini, kepala desa memiliki kewajiban untuk bertindak tegas terhadap praktik pungli yang dilakukan oleh perangkat desa. Sesuai dengan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kepala desa bertanggung jawab dalam pengelolaan pemerintahan desa, termasuk pengawasan terhadap perangkat desa. Kepala desa wajib memastikan bahwa tidak ada perangkat desa yang terlibat dalam pungli atau tindakan yang merugikan masyarakat. Jika ada perangkat desa yang terbukti melanggar ketentuan, kepala desa wajib untuk bertindak tegas, termasuk dengan memberikan sanksi berupa pemberhentian sementara atau pemecatan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Kepala desa juga memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi pemberhentian sementara terhadap perangkat desa yang terlibat dalam pungli, sebagaimana diatur dalam Pasal 69 Peraturan Pemerintah Repubik Indonesia Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyatakan bahwa Kepala Desa melakukan konsultasi dengan Camat mengenai pemberhentian perangkat desa, Camat memeberikan rekomendasi tertulis memuat mengenai pemberhentian perangkat desa yang telah di konsultasikan dengan Kepala Desa dan rekomendasi tertulis Camat dijadikan dasar oleh Kepala Desa dalam pemberhentian perangkat desa dengan Keputusan Kepala Desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016, Pasal 32 ayat (1), juga jelas melarang kepala desa dan camat melakukan pungutan liar saat mengurus administrasi tanah.

 Pungli merupakan tindakan melawan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Jika kepala desa tidak segera mengambil tindakan tegas terhadap perangkat desa yang terlibat dalam pungli, maka hal tersebut akan memperburuk citra pemerintah desa dan merusak hubungan antara pemerintah desa dan masyarakat. Pasal 24 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mengatur bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa harus dijalankan dengan asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan pemerintahan, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efektif dan efisiensi, kearifan lokal, serta partisipatif masyarakat. Ketidaktegasan dalam menangani pungli hanya akan memperburuk keadaan dan memungkinkan praktik tersebut berkembang lebih luas, yang akhirnya merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa. Kepala Desa Sangiang telah mengeluarkan surat pemberhentian sementara terhadap oknum perangkat desa yang melakukan pungutan liar pada Aksi Demonstrasi Jilid II dan diajukan kepada camat, Namun menurut pernyataan Camat Wera setelah kami temui beberapa hari yang lalu, surat itu sudah saya terima namun belum ada konfirmasi balik dari Kepala Desa Sangiang.

Salus populi suprema lex esto adalah bunyi adagium hukum yang menyatakan “Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”. Pertama kali dikemukakan oleh Marcus Cicero dalam bukunya De Legibus, tutur Penulis dengan mengakhiri tulisannya.

Post a Comment

Previous Post Next Post