Cengkraman Oligarki: PPN, Kebijakan ‘Pajak’ Rezim Prabowo Berwatak Kolonial

 

Keterangan Foto Penulis: Jenlap Legara, ketika Menziarahi TPU ‘ Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A. (Cendekiawan Muslim & Tokoh Muhammadiyah)

Oleh : Jenlap Legara

Saya teringat dengan salah satu ungkapan Filsuf Prancis, Voltaire, “Jangan biarkan rakyat lapar, karena mereka akan bangun dan menggigit”. Kutipan ini terasa relevan ditengah kebijakan fisikal yang tidak hanya membebani, tetapi juga mencerminkan ketidakbecusan pemerintah dalam mengatur negara ini. Kalau di renungkan kembali atas ungkapan kakanda filsuf Voltaire diatas dapat ‘saya’ simpulkan bahwa, Setiap orang sehabis bangun tidur, rasa lapar adalah kepastian yg dirasakan, dan kini rakyat sedang tertidur dan belum ter-bangun ditengah kebijakan dan kezaliman rezim hari ini, dan seketika sudah terbangun, tidak ada lagi apapun yang dapat dimakan (99%) terkecuali si-Kaya. Dan sejarah telah membuktikan hal demikian bagaimana atas pemberontakan massa di berbagai lapisan dunia.

Dalam hukum Newton, setiap aksi menimbulkan reaksi yang setara berlawanan arah. Prinsip ini tidak hanya berlaku di dunia fisika, tetapi juga dalam dinamika sosial. ‘Cobalah pandang dan menoleh situasi sosial di sekitarmu sejenak atau coba ingatlah kondisi keluargamu dikampung (desa) halaman. Orang miskin ada dimana-mana, dari Hulu hingga Hilir (Desa hingga Kota) mereka dari tahun ke-tahun bukan berkurang tapi makin berlipat ganda. Sebab itu adalah warisan. Kita sendiri, jika bukan bagian kelurga oligarki/konglomerat (elite kapital) hidupnya makin terdesak. Terdesak biaya hidup yang berat, terdesak karena banyaknya pungutan, dan terdesak karena beban keluarga yang musti ditanggung. 

Makin bergantinya rezim makin tersiksa, harapan kesejahteraan nampaknya suram. Keberadaan tanggung jawab negara bukanya hidup makin “ringan” tapi kian berat. Meski sudah menabung bahkan berkerja pagi, siang dan malam tapi beban ekonomi makin sulit ditopang. Kita ternyata makin miskin dan makin sulit untuk kaya. Sebab negara adalah beban bagi rakyat, semua persoalan rakyat yang menanggung akibat, bukanya negara (rezim) hadir untuk melindungi rakyat tapi negara hadir untuk merampok, memeras, merampas dan menindas rakyat sepanjang waktu.

Rezim baru, Tahun baru dan Penderitaan yang sama. Meski ada optimisme tapi kita sadar kalau tahun 2025 adalah waktu dimana hidup bukan makin mudah. “Pungutan baru, (PPN, Iuran BPJS, Biaya cukai Minuman, Normalisasi PPh UMKM dan Asuransi WKB), Makin sulit cari kerja, Makin banyak PHK, Harga Barang Makin Mahal, kondisi ekonomi dan politik yg makin suram dan dihadapkan lagi dengan keadaan yang padat oleh konflik serta krisis Global (Geopolitik)”. Entah sampai kapan rakyat menghadapi ketimpangan dan kenyataan pahit ini ditengah arus kebijakan politik rezim ini.

Warisan; Tuhan, Pemerintah dan Keluarga.

Kekayaan dan Kemiskinan (Harta dan Tahta), Kedamaian, Penderitaan dan Kesejahteraan. Hal demikian merupakan warisan yang diperoleh dan dirasakan oleh sebagian manusia tertentu dalam sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Tuhan dalam perspektif Islam sebagai sebab awal dari segala keberadaan sesuatu dihadapan kita kini, sumber daya alam yang melimpah ruah di bangsa ini adalah warisan (titipan) Tuhan untuk manusia dikelola dengan sebaik mungkin dan dirasakan oleh seluruh manusia bukan segelintir kelompok dan bahkan tertuang dalam perintah UUPA untuk keberlanjutan kehidupan. Kendati demikian, semua berbanding terbalik, sebagian manusia (rakyat) masih saja jauh dari kesejahteraan dan kedamaian bahkan sikap pesimisme menghampiri mereka dan memilih mengakhiri hidupnya ditengah beban kehidupan yg alami nya.

Sejarah perpajakan Indonesia menunjukkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memiliki akar warisan kebijakan kolonial. Narasi modernisasi perpajakan untuk membiayai kebutuhan negara tidak serta merta menghilangkan watak kebijakan kolonial. Esensi instrumen kebijakan ini kerap menimbulkan gugatan mendasar. Gugatan bahwa kebijakan PPN jauh dari mencerminkan keadilan sosial. Bahkan kebijakan ini justru memperkuat ketimpangan ekonomi yang diwariskan sejak dari masa kolonial.

Sepanjang sejarah transisi kekuasaan di bangsa Indonesia sejak massa kepemimpinan Soekarno hingga Jokowi selalu mewarisi atau meninggalkan beberapa persoalan, baik dari segi, sosial, ekonomi, dan politik. “Hemat saya” Selama satu dekade, pemerintahan Jokowi meninggalkan banyak lubang fiskal. Utang negara menumpuk hingga Rp 8.500 triliun, dan pada 2025, pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto harus membayar Rp 1.350 triliun. Ini adalah konsekuensi dari pengelolaan yang buruk: defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Rp 401,8 triliun hingga November 2024. (sumbr.detikcom).

Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan belanja besar yg tidak di barengi pendapatan negara yang optimal. Untuk menutup lubang fiskal ini, pemerintah mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan utama. Data terbaru menunjukkan bahwa 82,4 persen pendapatan negara berasal dari pajak. Artinya, rakyat adalah pihak utama yang menanggung konsekuensi kebijakan negara. Ironisnya, kebijakan ini malah memperburuk daya beli masyarakat yang sudah tergerus akibat inflasi dan pelemahan rupiah yang mencapai Rp 16.000 per dolar AS.

Salah satu buku yg pernah saya baca “Anarchy, State, and Utopia”, karya, Robert Nozik, salah satu filsuf Politik asal AS, ia mengungkapkan bahwa, Mengkritik Pajak yang Terlalu Tinggi sebagai bentuk Eksploitasi. “KETIKA RAKYAT DI PAKSA MEMBAYAR PAJAK TANPA IMBALAN YANG SETARA, MAKA HAL ITU SETARA DENGAN KERJA PAKSA (perbudakan modern). Kata Nozik.

Tanah atas nama milik negara, dikuasai negara dan diperuntukkan untuk korporat sedangkan tenaga rakyat diperbudak dan dieksploitasi dan rakyat harus membelinya kembali lalu dirampas kembali oleh negara. Beasiswa pendidikan atas nama negara, bantuan langsung tunai, sembako dll atas nama negara, kesehatan gratis atas nama negara, bukan hasil dari produksi paksa petani yg dibayar murah, tanah nya yg dirampas paksa dan pajak nya yang dirampok secara legal. Semua Bantuan atas nama Negara seolah Negara ini kaya tetapi biaya kehidupan para Elit Politik dan Hutang Negara dibebankan dan ditanggung paksa oleh Rakyat, Namun yang diuntungkan Hanyalah Oligarki dan Elit Politik pemegang Kekuasaan.

Rakyat tersandera dan Negara adalah budak Kapitalisme

Framing dan propaganda media kuasa elit politik (pemerintah) begitu ampuh dalam menyandera lapisan Civil society (Pegawai, Mahasiswa, Buruh dan Tani) seolah melebihi gaya dan taktik pesulap dan pendeta sehingga lapisan sosial merasa dilematis bahkan sebagian menerima dengan Legowo atas realitas kebijakan rezim ini. Tapi yang jelas Pemerintah adalah Penipu yang arogan.

‘Mengapa lapisan element rakyat masih diam?, meski tekanan ekonomi kian meningkat, masyarakat Indonesia masih tampak pasif dibawah kontrol/tekanan kekuasaan yg masif. Beberapa faktor mendeterminan keadaan rakyat, baik faktor ‘Kelelahan Ekonomi, Generasi Samdwich, Represi, Frustasi dan Brutalitas Aparat Penegak Hukum diberbagai daerah. Juga salah satunya Sebab rakyat sudah tertipu dan terhipnotis oleh racun retorika kekuasaan. Propaganda elit politik hadir diruang publik dengan citra/wujud yang berbeda seolah mewakili dan menyatu dengan rakyat, lalu menyodorkan racun yang berlabel penawar (healing medicine). Gelombang perlawanan rakyat telah dibendung oleh tipu-tipu ala rezim Jokowi maupun Prabowo, “BLT, Beasiswa, Gaji Honor, PNS dan Posisi Pengangkatan Jabatan, Subsidi Murah, Peningkatan Harga Gabah/HPP (Harga Pokok Penjualan yg dijanjikan Naik), Lapangan Kerja, dan Jaminan Kesehatan gratis dan Keselamatan Kerja. 

Berbagai macam tipu-tipu demikianlah sebagai dalih resolusi bagi kekuasaan dalam membungkam perlawanan rakyat. Kenyataannya, tersembunyi niat dan keinginan agar rakyat tetap mengabdi tanpa bayar dan jaminan kesehatan serta keselamatan, melepaskan harta untuk dirampas dan merelakan harkat (Human Dignity) dan terus berkerja keras karena untuk membiayai gaya mewah kelompok para pejabat negara, perlu harta, tenaga, pikiran dari rakyat secara cuma-cuma. Sehingga rakyat dan isi alamnya hanyalah objek komoditi yg sama seperti alam dan menjanjikan nilai akumulasi kapital serta menguntungkan jika dieksploitasi.

Dalam keadaan mendesak rezim datang membuat sesak, membungkam dan merampok dengan jeratannya, dan setiap lapar rakyat yang harus membayarnya. Walau dititik lain elit borjuasi ia lindungi. Tapi optimisme kesejahteraan dan kebangkitan gelombang perlawanan rakyat (massa) akan segera tiba dalam pemberontakan menjemput revolusi besar akibat overdosis menghadapi kenyataan pahit ini.

Belajarlah dari Voltaire, Peristiwa Reformasi (98), dan Pemberontakan Rakyat di Srilangka

Sumber dari kemarahan yang menyebabkan pemberontakan massa di Srilangka dan gerakan Reformasi 98 tidak lepas dari ketidakmampuan pemerintah mengatasi disparitas, ketimpangan sosial, Inflasi dan Krisis Energi (ekonomi-politik). Indonesia semakin dekat dengan keruntuhan dan kebangkitan gerakan perlawan rakyat, melihat konsekuensi public policy (kebijakan publik) yang condong eksklusif (tertutup) dan destruktif dapat melumpuhkan di berbagai sektor. “Baik dari segi Kerusakan lingkungan, eskalasi indeks pengangguran, Defisit APBN, kebergantungan utang luar negeri, Masifnya KKN, Tunduknya negara pada ekstraksi kekayaan borjuasi, masifnya pengaruh imperialis, Mengakarnya watak Neoliberalisme, Mobilitas Pasokan Pangan Negara yg masih bergantung pada impor dan mengabaikan bahkan merendah HPP hasil produksi pertanian rakyat. Seluruh dari fakta-fakta ini potensi memicu seruan protes dan melucuti pemberontakan rakyat secara besar-besar.

Ditengah ancaman problem yg begitu pelik saatnya pemerintah menyadari kontaminasi serta menghindari ancaman gejolak kehancuran dan radikalisasi gerakan massa dengan segera menyoroti tujuan (ideologi) bangsa sebagai pilar pembangunan dan pemberdayaan, sebab jika tidak menyadari dengan cepat, keberlangsungan bangsa ini telah berada di ujung nestapa.

Rakyat seolah dipaksa membuat pilihan: akankah tetap patuh pada perbudakan negara dan hukum pasar yang dikemudikan oleh keserakahan kapitalisme atau hukum alam untuk merawat ekosistem bumi dan menjaga kestabilan ekonomi, politik sert kebudayaan bangsa demi sebuah masa depan rakyat Indonesia yg sejahtera adil dan makmur. 

Jika kebijakan, perbudakan negara terhadap rakyat serta watak neoliberalisme para korporat atau elit borjuasi yang arogan dan menindas makin berlanjut dan tidak dihentikan maka suatu saat: “SUATU SAAT SI MISKIN (99%)TAK AKAN MEMILIKI APAPUN UNTUK DI MAKAN KECUALI SI KAYA (1%)”.

Post a Comment

أحدث أقدم