![]() |
Foto : Jenlap Legara (Pegiat Literasi & Filsafat Islam) |
Oleh: Jenlap Legara (Pegiat Literasi & Filsafat Islam).
“Pemilihan Langsung tak sekedar soal memilih pemimpin, tetapi juga soal kebebasan, kehendak serta membangun kesadaran politik dan partisipasi sosial dalam menentukan Masa depan Daerah”.
Sebagai sebuah keniscayaan bahwa setiap pidato publik elite kekuasaan akan jelas nampak kepentingan yang tersembunyi dibalik wacana yg dilontarkan, lebih-lebih kekuasaan itu menggoda sehingga manusia mana yg kemudian tak ingin berkuasa secara absolut. Wacana ini bukan hal yg baru, sehingga tak mengagetkan para pengamat politik, aktivis dan Civil society, melainkan ada catatan kritis bagi keberlangsungan sistem demokrasi di negara kesatuan republik Indonesia ini untuk segera diselamatkan dan membenahi perspektif elite kekuasaan dalam memandang mundur praktik berdemokrasi.
Wacana pilkada dikembalikan kepada DPRD menjadi wacana yang berulang setelah tahun 2022 sempat ramai menjadi konsumsi partai politik. Jika pada waktu itu dilontarkan oleh MPR RI yang sempat dibahas bersama Wantimpres, maka kini Presiden Prabowo mengusulkan hal yang sama pada acara HUT Golkar kemarin. Tidak hanya mengusulkan bahkan Presiden mengajak langsung kepada seluruh ketua partai yang hadir untuk memutuskannya malam itu juga. Alasan utama yang disampaikan Prabowo terkait pemborosan keuangan negara. Menurutnya lagi, lebih baik anggaran tersebut untuk hal lain yang dibutuhkan rakyat.
Apakah benar semata ingin melakukan penghematan kas negara sehingga mengusulkan pilkada dikembalikan kepada DPRD? Apakah tidak mungkin ada kepentingan politik yang tersembunyi yang tidak mungkin disampaikan kepada publik? Jika bicara ataupun melakukan pembahasan terkait perangkat negara, maka tidak mungkin tanpa alasan politik.
Jika kembali diperhatikan landasan konstitusional Pilkada langsung, pada asasnya masih berada dalam keadaan norma yang kabur (vague norm). Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945 hanya menegaskan: “Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.”
Pasal ini sangat mungkin menjadi multi tafsir, karena tidak disebut secara tegas kalimat ‘pemilihan langsung’. Meski dalam UU turunan yang mengaturnya yakni UU Pemilu dan UU Pilkada secara tegas disebut pemilihan langsung, namun pilkada melalui DPRD sangat mungkin dilakukan tanpa perlu mengubah konstitusi. Ini berbahaya bagi kelangsungan demokratisasi. Disebutkan ‘kembali’ ke DPRD bermakna kan bahwa sebelumnya pernah dilakukan proses pilkada oleh DPRD yakni di era orde baru. Gubernur, Bupati/Walikota dipilih melalui mekanisme pemilihan di DPRD. Hal ini memang sesuai dengan karakter pemerintah orde baru di bawah Suharto yang sentralistik. Daerah tidak otonom melainkan dikontrol oleh Pusat.
Sedangkan jika kita mengikuti sejarah pemerintahan Indonesia paska orde baru, tahun 1998 terjadi gerakan reformasi. Adanya tuntutan reformasi menyeluruh karena sistem pemerintahan yang berjalan ketika itu dianggap sudah tidak sesuai karena mengekang kebebasan berpolitik rakyat (partai politik). Begitupun dengan pemerintah daerah. Salah satu tuntutan reformasi adalah menerapkan otonomi daerah seluas-luasnya. Dalam hal ini terkait juga proses pemilihan kepala daerah melalui pemilihan langsung. Asumsinya, kepala daerah yang dipilih dan diangkat oleh DPRD cenderung “rekomendasi” pusat hingga dapat dikuasai. Seluruh kepala daerah akan tunduk kepada pusat.
Dengan demikian, jika proses pilkada dikembalikan kepada DPRD, maka demokrasi kita mundur jauh ke belakang. Selain itu, gaya-gaya pemerintahan rezim orde baru yang sentralistik akan dibangun kembali. Jelas hal ini bertentangan dengan semangat reformasi. Akankah rakyat mau menerima usulan tersebut? Logikanya pemerintah yang dipilih 58% suara rakyat akan menang.
Gejala kebangkitan orde baru sudah semakin nyata dengan mengubah sistem pemerintahan yang demokratis ke sentralistik. Setelah DPR dikuasai melalui koalisi partai pemerintah, partai politik pun demikian dikooptasi. Kini kepala daerah juga ingin dikuasai melalui usulan pilkada melalui DPRD. Sebelumnya, lembaga yudikatif bahkan aparat keamanan termasuk yang dikuasai. Dalam analisa politik orang bodoh sekalipun, jika semua sektor lembaga negara berikut kewenangannya berada dalam satu tangan (sentralistik) maka dipastikan model pemerintahan Prabowo bergeser gaya otoriter. Mirip dengan bapak mertuanya dulu, Suharto, yang melanggengkan kekuasaan selama 32 tahun. Karena bisa jadi pilpres pun akan diarahkan dipilih melalui lembaga DPR RI.
Itu kepentingan tersembunyi yang bisa dilihat. Karena jika hanya alasan boros, memang masuk akal, tapi tentu tidak semata itu. Yang harus dilakukan mestinya mencari solusi bagaimana agar pilkada tidak high cost? Pemerintah bisa membuat aturan (UU) melarang penggunaan baliho, sablon dll sebagai alat peraga. Tidak diperbolehkan memberi apapun kepada pemilih terkait pemilu. Rakyat harus dilatih dan dididik agar tidak mengharapkan apa-apa dari kandidat sebagai dasar ia memilih. Pemilihan melalui elektronik perlu dipikirkan agar tidak membuang banyak uang untuk biaya cetak kertas/surat suara dll. Rakyat pun bisa memilih melalui online tanpa harus membuat TPS. Ada banyak inovasi berbasis teknologi untuk membuat pilkada yang hemat.
Oleh karena itu urgensi nya memahami esensi demokrasi sehingga memandang akar persoalan dalam tubuh bangsa ini tidak secara simplisistis dan dangkal dalam mengungkapkan solusi bahwa mengganti sistem pilkada. Pemulihan sistem demokrasi harus dimulai dengan pembenahan integritas dalam tubuh pemerintahan dan partai politik. Jika kita terus menggulirkan wacana mengembalikan pilkada kepada DPRD dengan alasan efisiensi anggaran, kita justru akan mundur dalam perjalanan demokrasi kita. Anggaran Pilkada yang besar memang patut diawasi, namun penghematan anggaran tanpa pembenahan struktural dalam partai politik dan pengentasan korupsi tidak akan membawa perubahan berarti.
Sebaliknya, jika kita mampu menciptakan sistem yang transparan, bebas dari korupsi, dan partai politik yang berfungsi sebagaimana mestinya, maka anggaran yang dikeluarkan untuk Pilkada atau pemilu langsung akan lebih terasa manfaatnya untuk kemajuan bangsa.
Dengan kata lain, reformasi politik yang sesungguhnya bukan hanya soal mengganti sistem atau mengecilkan anggaran, tetapi lebih pada perubahan mendalam dalam sikap politik dan pemerintahan yang harus berorientasi pada pelayanan publik yang adil, transparan, dan bermanfaat bagi rakyat. Jika mentalitas koruptif ini tidak diubah, maka apapun sistemnya, anggaran negara akan terus disalahgunakan untuk kepentingan segelintir orang.
Post a Comment