Dokumentasi foto massa aksi
Mataram, dimensiummat.com- Kasus penggusuran dan pengusiran paksa pondok Perasi pada tanggal 28 Mei 2025 masih belum menemui titik terang. Sejauh ini, korban penggusuran paksa menolak direlokasi, sebelum adanya kepastian hukum mengenai kasus penggusuran paksa.
Korban penggusuran paksa, secara terus menerus berupaya meminta keadilan dengan mendatangi kantor DPRD NTB secara rutin setiap minggu. Namun sejauh ini, anggota DPRD NTB baru sekali turun meninjau langsung kondisi korban penggusuran paksa yang terlantar di jalan.
Sampai kapan pemprov dan Pemkot akan membiarkan masyarakatnya terlantar dan hidup menggelandang di jalan? Sampai kapan kita akan terus melakukan pembiaran terhadap kejahatan kemanusiaan kasus pelanggaran HAM Berat? Sebab kasus penggusuran dah pengusiran paksa 60 kk warga pondok Perasi, adalah kasus pelanggaran HAM terbesar di Indonesia pada tahun 2025.
*A. Dasar hukum Penggusuran dan pengusiran paksa Komplek masyarakat Sasak pesisir disebut pelanggaran HAM Berat*
Penggusuran paksa melanggar hak atas perumahan yang layak dan berbagai hak asasi manusia lainnya, seperti hak atas tanah, makanan, air, kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Resolusi Komisi HAM PBB Nomor 77/1993 secara tegas menyatakan bahwa penggusuran paksa adalah pelanggaran berat HAM.
Dalam instrumen hukum Indonesia, “penggusuran” atau “penggusuran paksa”. Committee on Economic, Social, and Cultural Rights berpendapat dalam Poin Ketiga General Comment No. 7 on the Right to Adequate Housing (Article 11(1) of the Covenant) bahwa:
Forced eviction is “the permanent or temporary removal against their will of individuals, families and/or communities from the homes and/or land which they occupy, without the provision of, and access to, appropriate forms of legal or other protection.
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, "penggusuran paksa berarti pemindahan individu, keluarga, atau kelompok secara paksa dari rumah atau tanah yang mereka duduki, baik untuk sementara atau untuk selamanya, tanpa perlindungan hukum yang memadai."
Patut dicatat bahwa dokumen di atas yang terkuat dalam Pasal 11 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 1966 yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) (“UU 11/2005”). Diterangkan bahwa:
Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela.
Selain itu, Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia (“UUD 1945”) menerangkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Apabila uraian-uraian di atas dibaca secara komprehensif, penggusuran paksa dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (“HAM”). Hal ini juga dikuatkan dalam Poin Pertama Commission on Human Rights Resolution 1993/77, yang menyatakan, bahwa penggusuran paksa adalah “gross violation of human rights” atau pelanggaran HAM berat.
B. Penggusuran Paksa Pondok Perasi oleh Pemkot Mataram Tanpa Surat Perintah dari Pengadilan dan tanpa pemberitahuan
Sejauh ini, walikota Mataram terus menggunakan dalil absurd "pengosongan lahan" untuk membenarkan perbuatan melawan hukum menggusur dan mengusir paksa puluhan KK warga RT 08 Pondok Perasi.
Tanpa ada surat perintah dari pengadilan, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, secara tiba-tiba Pemkot Mataram yang dipimpin langsung oleh Lurah Bintaro dan camat Ampenan, Pemkot mengerahkan ratusan preman, polisi dan polPP untuk melakukan penggusuran dan pengusiran paksa pada tanggal 28 Mei 2025.
Keterlibatan pemerintah untuk melakukan pengusiran paksa tanpa ada dasar hukum, yakni pemerintah kota Mataram bertindak atas nama warga Jakarta yang mengklaim memiliki lahan tersebut, bukan berdasarkan putusan atau surat perintah dari pengadilan merupakan kejahatan kemanusiaan pelanggaran HAM Berat yang dilakukan oleh Negara.
Pemkot Mataram tidak hadir sebagai fasilitator untuk menyelesaikan konflik antara masyarakat lokal dengan seorang warga Jakarta yang mengklaim tanah tersebut. Ini menunjukkan, jika pemerintah kota Mataram bekerja sesuai pesanan segelintir orang.
C. Walikota Mataram Melancarkan Teror terhadap korban penggusuran
Jauh sebelum kasus penggusuran, walikota Mataram melancarkan teror terhadap warga RT 08, baik melalui premanisme dan teror menggunakan aparat kepolisian dan perangkat Lurah. Pada tanggal 02 Mei, warga tiba-tiba didatangi sekelompok preman yang mabuk-mabukan sambil mengancam warga. Kemudian berlanjut teror yang dilakukan oleh polres Mataram dan penganiayaan dua minggu sebelum penggusuran paksa dan penyerangan oleh preman pada saat penggusuran paksa.
D. Pemerintah Kota Mataram Tidak memberikan Layanan kependudukan pra dan pasca penggusuran paksa
Selain melakukan teror, warga RT 08 selama ini tidak lagi mendapatkan pelayanan sebagai warga negara. Sebelum penggusuran, pelayanan warta RT 08 tidak lagi diberikan, baik pelayanan pembuatan KTP, ijin Usaha, buku nikah dan sebagainya.
Bantuan sosial berupa sembako, PHK dll, bagi warga yang tinggal di RT 08 dihentikan sejak dua tahun terakhir. Warga RT 08 benar-benar diisolasi, sehingga nyaris tidak mendapat kan pelayanan apapun.
Pasca penggusuran paksa tanggal 28 Mei, korban penggusuran paksa sama sekali tidak mendapatkan layanan apapun dari Pemkot Mataram, dan dibiarkan begitu saja terlantar di jalanan. Bahkan warga korban penggusuran paksa diancam langsung oleh camat dan Lurah kalau tidak segera pindah ke hunian sementara dan rusunawa. Ini benar-benar kejahatan diluar batas kemanusiaan. Setelah diusir paksa, warga diancam bila menggugat kasus penggusuran paksa.
E. Kondisi Warga pasca Penggusuran paksa 28 Mei
Dari total 60 KK yang digusur paksa, hanya 20 KK yang pindah sukarela ke Huntara setelah mendapat tekanan dan intimidasi dari Lurah dan camat Ampenan. Sedangkan 40 KK, sekarang menempati tinggal di jalan samping lokasi penggusuran. Sebagian menumpang di rumah sanak keluarga terdekat, tidur di pantai dan terpaksa merantau keluar daerah.
Kondisi warga yang bertahan di jalan sangat rentan terhadap penyakit dan kekurangan bahan makanan serta pakaian. Untuk makan dan minum, korban penggusuran hanya mengandalkan bantuan dari masyarakat sekitar. Sedangkan tenda tempat korban menempatkan anak-anak dan istrinya, didapat dari sumbangan.
Kondisi korban penggusuran paksa yang di dominasi oleh nelayan dan buruh nelayan, benar-benar jatuh dititik terendah pasca penggusuran paksa. Hasil tangkapan menurun, sedangkan Nisa yang sebelumnya bekerja sebagai cleaning service, terpaksa berhenti bekerja.
F. Pemrov NTB dan Pemkot Mataram Lepas tangan, Nasib Korban penggusuran paksa memprihatinkan
Sudah berulang kali korban penggusuran mengadukan nasib ke kantor gubernur dan kantor wali kota Mataram. Namun sejauh ini, tanggapan dari pemprov dan Pemkot justru menyalahkan korban penggusuran paksa, sehingga korban penggusuran paksa yang datang ke kantor wali kota di represif dan di usir paksa.
Tidak berbeda jauh dengan pemprov dan Pemkot, DPRD kota Mataram dan DPRD NTB juga melakukan hal yang sama. Warga yang datang ke kantor DPRD NTB justru diabaikan dan dibiarkan begitu saja, tanpa ada satupun anggota dewan yang menerima aspirasi korban penggusuran paksa.
Sedangkan laporan kepolisian di polda NTB mengenai tindakan premanisme dan penggusuran paksa, sejauh ini belum ada tindak lanjut. Hal ini mengindikasikan, kejahatan luar biasa yang dilakukan secara sistematis dari negara untuk mengusir paksa masyarakat lokal.
Dari persoalan yang dihadapi oleh korban penggusuran paksa Pondok Perasi, kami dari Forum Masyarakat Sasak pesisir mendesak agar Pemprov NTB dan pemerintah pusat untuk segera turun tangan, jika tidak ingin tidak ada pembantaian dan kekerasan lanjutan atas tragedi penggusuran paksa.
Kami menyerukan kepada pemprov dan DPRD NTB untuk segera:
1. Usut tuntas aset dan sertifikat atas nama Ratna Sari Dewi, dan sertifikat hak milik perorangan di sepanjang lahan sempadan pantai
2. Usut tuntas kasus penggusuran dan pengusiran paksa warga Pondok Perasi
3. Segera usut tuntas kasus premanisme yang dibekingi oleh wali kota Mataram Mohan Roliskana
4. Usut Tuntas Pembuangan Sampah di pantai tanjung karang atas dugaan Instruksi langsung dari walikota Mataram
5. Usut tuntas indikasi korupsi dalam pengadaan Hunian sementara dan pembangunan Rusunawa di Bintaro Jaya
6. Segera berikan kepastian hukum mengenai hak tempat tinggal yang layak bagi korban penggusuran paksa
7. Segera berikan bantuan kemanusiaan dan trauma healing bagi anak-anak korban penggusuran paksa
8. Segera bentuk pansus untuk melakukan investigasi mendalam mengenai keterlibatan Pemkot dan polres Mataram dalam kasus penggusuran paksa
9. Pecat secara tidak terhormat Lurah Bintaro dan Camat Ampenan yang terlibat langsung dalam penggusuran dan pengusiran paksa
Mataram, 06 Juli 2025
FORUM MASYARAKAT SASAK PESISI
Post a Comment