Rian Fahardhi: Generasi Muda Harus Mengenali “Senjatanya” di Era Disrupsi Digital

 

Sumber Gambar: Wartawan Dimensi UMMat 


Mataram, 19 Juni 2025 — Dalam forum inspiratif Ummat Ekspo #2 yang digelar di Universitas Muhammadiyah Mataram, Rian Fahardhi, konten kreator sekaligus pendiri komunitas Distrik Berisik dengan lebih dari 1,7 juta pengikut di TikTok, menyampaikan pandangan strategis terkait peran dan kekuatan generasi muda di era disrupsi digital serta tantangan demokrasi kontemporer.


Acara ini dikemas dalam bentuk interactive talk show yang mengusung tema “Era Gen Z Menghadapi Tantangan Global”, menghadirkan dialog terbuka antara narasumber dan mahasiswa lintas jurusan yang antusias mengikuti sesi diskusi.


Dalam pemaparannya, Rian menekankan bahwa setiap generasi memiliki pendekatan tersendiri dalam menghadapi tantangan zaman. Menurutnya, generasi pasca-pandemi memiliki karakter unik yang perlu dikenali dan diberdayakan.


“Generasi yang lahir di era reformasi memiliki cara pikir yang berbeda dibanding generasi pasca-COVID-19. Anak-anak muda hari ini cenderung lebih empatik, lebih jujur, dan lebih akrab dengan teknologi. Mereka pernah mengalami dunia berhenti, tapi tetap terhubung melalui media sosial dan platform digital,” ungkap Rian usai sesi talk show.


Ia menyoroti bahwa keterbatasan fisik saat pandemi justru membentuk daya tahan baru bagi generasi muda. Pengalaman tersebut, menurut Rian, merupakan titik awal penting bagi anak muda untuk mengenali “senjata” masing-masing—yakni potensi dan kekuatan pribadi—yang bukan digunakan untuk konflik, tetapi untuk kontribusi nyata.


“Yang harus diuji bukan hanya generasinya, tapi diri kita sendiri. Kita harus sadar akan nilai dan kekuatan diri kita. Jangan hanya jadi penonton di tengah perubahan,” tegasnya.


Lebih lanjut, Rian membahas tantangan bonus demografi yang akan dihadapi Indonesia. Ia mengingatkan bahwa peluang besar ini bisa menjadi kekuatan ekonomi dan sosial, namun juga berisiko menjadi bumerang apabila generasi muda merasa tersisih dari proses pengambilan keputusan.


Mengutip riset Shingo Amanaka, Rian menyinggung fenomena Arab Spring dan Revolusi Bangladesh, di mana eksklusi politik terhadap generasi muda menjadi pemicu utama gejolak sosial.


“Di Bangladesh, anak mudanya marah karena mereka hanya dimobilisasi saat pemilu, tapi diabaikan dalam pembuatan kebijakan. Ini yang harus kita waspadai. Jangan sampai kita hanya dihitung sebagai angka, bukan dilibatkan sebagai pelaku,” tambahnya.


Dalam konteks ekonomi digital, Rian mendorong generasi muda untuk membangun value dan menjelajahi potensi diri, khususnya melalui media sosial dan teknologi terkini seperti kecerdasan buatan (AI). Menurutnya, meskipun AI di Indonesia masih dalam tahap awal, potensi pemanfaatannya sangat besar apabila diarahkan ke isu-isu lokal yang relevan.


“Pertanyaannya bukan hanya seberapa cepat kita bisa mengikuti perkembangan, tapi apa yang bisa kita tawarkan? Apa yang membuat kita berbeda? Misalnya, AI bisa dimanfaatkan untuk mendukung desa wisata, memperluas pasar produk budaya lokal, atau menciptakan solusi berbasis komunitas,” ujarnya.


Menutup sesi wawancara, Rian kembali menegaskan bahwa kesadaran generasi muda bukan sekadar identitas kolektif, melainkan bentuk tanggung jawab personal terhadap masa depan.


“Kita tak bisa lagi menunggu. Kita harus bertindak. Jadilah generasi yang tahu senjatanya, tahu tujuannya, dan tahu cara bertahan dalam zaman yang terus berubah ini,” pungkasnya. Lyla

Post a Comment

Previous Post Next Post