Membela Ratna Warga Jakarta, Wali Kota Mataram Mafia Tanah Gusur Paksa Rumah Warga Pondok Perasi NTB
Dokumentasi: Foto massa aksi dan Wakil 1 Wali Kota MataramMataram, dimensiummat.com - Senin, 02/06/2025. Masyarakat Korban penggusuran paksa di lingkungan nelayan RT 08 Pondok Perasi pesisir kelurahan Bintaro bersama aliansi ahasiswa melakukan demonstrasi di kantor DPRD NTB, kantor Gubernur NTB dan kantor Wali Kota Mataram.
Massa yang tergabung dalam aliansi Mahasiswa dan Rakyat NTB Peduli Pondok Perasi, menuntut pertanggung jawaban pemerintah segera menyelesaikan sengketa lahan dan melindungi kepentingan warga lokal diatas lahan yang disengketakan. Massa aksi menolak upaya relokasi ke tenda pengungsian, sebab warga bukanlah korban bencana alam.
Aksi yang dimulai pukul 11.00 WITA berjalan damai dan tertib bermula menyampaikan orasi di depan gedung DPRD NTB, kemudian ditemui oleh salah satu anggota DPRD NTB Dapil Kota Mataram. Namun tidak ada solusi apapun yang ditawarkan oleh DPRD NTB, sehingga massa bergerak ke Gubernur NTB dan juga tidak mendapat jawaban yang sesuai tuntutan para demonstran
Pada pukul 13.30 WITA, massa bergerak ke kantor wali kota Mataram dan ditemui langsung oleh asisten 1, sehingga terjadi perdebatan alot antara perwakilan massa dengan pihak pemkot Mataram. Melalui asisten 1, pemkot Mataram terus berupaya merelokasi warga ke tenda pengungsian, sementara massa menuntut wali kota bertanggung jawab atas dua kali penggusuran paksa yang dialami warga Pondok perasi.
Wali kota Mataram yang diwakili oleh asisten 1 sama sekali menunjukkan sikap keras kepala, bahwa seolah-olah tidak terjadi penggusuran paksa dan menyampaikan hanya pengosongan lahan. Wali kota Mataram lebih berpihak ke Ratna Sari Dewi yang diakuinya adalah warga Jakarta, Pemkot sama sekali tidak mau melindungi dan menjamin kepentingan warganya sendiri.
"Tidak ada gusur paksa di lokasi pondok Perasi, tapi disana hanya pengosongan lahan" ucapnya
Muslimin sebagai Korlap 1 saat orasinya, demi melindungi dan menjamin transaksi gelap mafia tanah dalam memperjualbelikan tanah sempadan pantai, Satu RT warga lokal di Ampenan, di gusur dan diusir paksa dari lahannya demi warga asing. Hari ini satu RT, kemungkinan besar selanjutnya ada lagi penggusuran dan pengusiran masyarakat pesisir dan warga lokal jika kejahatan ini dibiarkan
Lanjutnya sudah jelas kemana arah keberpihakan Walikota Mataram, bahwa konflik di atas lahan sempadan yang melibatkan satu orang warga Jakarta bernama Ratna Sari Dewi, secara terang-terangan Pemkot Mataram memihak ke Ratna Sari Dewi.
Lalu Irawan selaku Korlap 2 juga mengatakan, jika pemkot Mataram sebagai lembaga eksekutif yang berperan membuat kebijakan untuk melindungi kepentingan warganya, mengapa wali kota Mataram justru alih fungsi sebagai tukang eksekusi yang menggusur dan mengusir paksa warganya sendiri. Wali kota Mataram bukan hanya tidak menghormati proses hukum, tapi juga berusaha mengangkangi proses hukum agar Ratna dapat menguasai lahan warga
Sambung Irawan, sengketa lahan antara warga asli Pondok Perasi dengan Ratna Sari Dewi warga Jakarta, mengapa Pemkot yang justru melakukan penggusuran dan mengusir paksa warga dengan cara premanisme?
Jelas Irawan, setelah rumah, masjid, mental, impian dan kehidupan warganya jatuh pada titik terendah, melalui asisten 1, Pemkot seolah-olah menjadi pahlawan dengan menyediakan tenda pengungsian. Pemkot Mataram berusaha menghipnotis kesadaran rakyat agar dapat dengan mudah menyerahkan lahannya dan tidak menuntut ganti rugi atas kerusakan rumahnya.
Kita menyelesaikan konflik antara masyarakat lokal dengan warga asing yang dilindungi pejabat-pejabat dan elit-elit politik korup di kota Mataram dan Pemprov NTB, mau tidak mau rakyat harus terus memperluas gerakan dan terus melakukan konsolidasi-konsolisasi.
Hanya dengan gerakan aksi massa, puluhan KK korban penggusuran paksa mendapat keadilan dan dipenuhi hak-hak nya sebagai warga Negara.
Salah seorang warga Pondok Perasi yang enggan dimedikan namanya, mereka sudah muak dengan kemunafikan, bagaimana mungkin warga yang sudah susah payah membangun rumah diatas tanah kelahirannya, dihancurkan seketika tanpa sepeserpun ganti rugi. Kami diusir paksa menggunakan cara premanisme dan represif dari ratusan aparat kepolisian dan Pol PP.
Jika warga Jakarta dan warga negara asing saja bisa mengklaim tanah di Lombok, apa salahnya kami warga lokal menguasai dan menjadikan hak milik lahan tersebut. Apa salahnya puluhan KK yang digusur paksa memperjuangkan tanah dan tempat tinggalnya?
Anti Duhring
Post a Comment