Oleh : M. Awahun Mafa
Sekbid RPK PK. IMM Hukum UMMat
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang menjunjung tinggi kesetaraan hak setiap warga negara dalam menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Indonesia, demokrasi seharusnya menjadi alat untuk memastikan kekuasaan berada di tangan rakyat. Namun, dalam praktiknya, demokrasi di Indonesia saat ini mengalami distorsi dan kemunduran. Kekuasaan tidak lagi berada di tangan rakyat, melainkan terkonsentrasi pada segelintir elit politik dan kepentingan pribadi.
Sejak era Reformasi 1998, demokrasi Indonesia mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Namun dalam dua dekade terakhir, berbagai tantangan serius muncul. Terjadi penurunan kualitas kebebasan berekspresi, maraknya praktik kecurangan pemilu, lemahnya sistem pendidikan politik, serta meningkatnya dominasi kekuasaan eksekutif. Fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami kemunduran yang nyata dan berpotensi mengancam stabilitas sistem demokrasi itu sendiri.
Reformasi membawa harapan akan terciptanya negara demokratis yang adil dan partisipatif, di mana hukum ditegakkan tanpa pandang bulu dan hak asasi manusia dihormati. Namun realitas saat ini justru memperlihatkan ketidaksesuaian antara harapan dan pelaksanaan. Ini bukan semata karena para pemimpin tidak memahami demokrasi, tetapi karena lemahnya tanggung jawab dalam menerapkan nilai-nilai demokrasi. Demokrasi yang seharusnya menjadi sarana perjuangan keadilan sosial, kini rentan dimanipulasi oleh kelompok elit dan oligarki.
Distorsi makna demokrasi tercermin dari perilaku pejabat publik yang menganggap kekuasaan sebagai milik pribadi, bukan mandat rakyat. Hal ini menyebabkan meningkatnya kasus korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan. Rakyat sering kali menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak, kebijakan yang tergesa-gesa, ditolak publik, lalu dicabut seolah-olah pemerintah menjadi pahlawan. Ini bukan demokrasi, ini manipulasi.
Kemunduran demokrasi tidak hanya terjadi di Indonesia. Laporan Freedom House tahun 2020 menunjukkan bahwa 25 dari 41 negara demokratis mengalami penurunan kualitas demokrasi selama 14 tahun berturut-turut. Demokrasi sejati tidak cukup hanya dengan kontestasi pemilu, tetapi juga harus terwujud dalam distribusi kesejahteraan, pendidikan, layanan kesehatan, dan keadilan sosial. Di Indonesia, distribusi public goods (barang publik) masih sangat minim. Negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah justru gagal mengoptimalkan kekayaan tersebut untuk kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, banyak aset nasional dikuasai oleh investor asing, dan masyarakat terus hidup dalam keterbatasan.
Menurut laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, dari total 285,1 juta penduduk Indonesia pada 2024, sebanyak 60,3% atau 171,9 juta jiwa berada di bawah garis kemiskinan. Ini membuktikan bahwa distribusi kesejahteraan tidak merata dan menyebabkan rendahnya partisipasi publik dalam kehidupan demokratis. Ketika kebutuhan dasar tidak terpenuhi, partisipasi politik menjadi mewah. Inilah salah satu penyebab utama resesi demokrasi.
Korupsi menjadi akar dari kemunduran demokrasi. Ia menghancurkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi rakyat. Praktik korupsi melahirkan demokrasi patrimonial, di mana kekuasaan digunakan untuk memperkaya diri dan mempertahankan kekuasaan. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi merosot drastis. Ketidakpercayaan ini berdampak pada menurunnya partisipasi politik dan mengancam legitimasi demokrasi.
Dalam kondisi seperti ini, muncul politisi oportunis atau "demagog" yang memanfaatkan ketidakpuasan publik dengan retorika emosional tanpa solusi nyata. Mereka mengeksploitasi kebodohan, kemiskinan, dan ketakutan rakyat untuk meraih kekuasaan. Fenomena ini diperparah oleh kualitas pendidikan yang rendah dan ekonomi yang tidak stabil. Padahal, demokrasi mensyaratkan adanya pendidikan politik dan kesejahteraan ekonomi sebagai fondasi utama.
Demokrasi bukan sekadar soal pemilu. Ia adalah jembatan rakyat untuk mengatur negara melalui wakil-wakil yang mereka pilih. Namun, praktik oligarki, politik uang, dan lemahnya partisipasi kritis telah mereduksi esensi demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Saat ini kita menghadapi ketidakstabilan sosial, ketakutan publik, dan kebingungan akibat buruknya tata kelola pemerintahan. Ketidaksinkronan pernyataan antarpejabat menambah keresahan. Oleh karena itu, masyarakat sipil, termasuk mahasiswa, menuntut evaluasi besar-besaran terhadap kebijakan pemerintah agar lebih berpihak kepada rakyat. Pemerintah harus mengedepankan kebijakan berbasis kebenaran ilmiah, rasionalitas, dan keberpihakan terhadap kesejahteraan publik.
Hanya dengan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai demokrasi sejati transparansi, partisipasi, keadilan, dan kesejahteraan demokrasi Indonesia dapat bangkit kembali dari kemundurannya.
Post a Comment