FESTIVAL SANGIANG API TAHUN 2025 DISABOTASE

Sumber Gambar: Penulis 


FESTIVAL SANGIANG API TAHUN 2025 DISABOTASE

Oleh: Ardian Saputra

Festival budaya adalah peristiwa sosial dan spiritual yang penting dalam kehidupan masyarakat lokal. Ia tidak hanya menjadi ruang ekspresi seni dan adat, tetapi juga berfungsi sebagai sarana penguatan nilai-nilai kolektif, solidaritas sosial, dan warisan identitas budaya yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Setiap elemen dalam festival tersebut mulai dari tarian, musik, ritual, hingga simbol-simbol adat mengandung makna mendalam yang lahir dari sejarah panjang kehidupan masyarakat.

FESTIVAL SANGIANG API adalah bentuk ciri khas dan budaya dari Desa Sangiang Kecamatan Wera, yang rutin dilaksanakan dalam satu kali setahun ini berjalan sudah sejak lama, dalam mewarisi tradisi dan budaya yang sudah turun temurun di lakukan, masyarakat desa sangiang memiliki antusias yang cukup luar biasa dalam memeriahkan. Namun, realitas di lapangan hari ini menunjukkan ironi yang menghawatirkan dari berbagai pihak.

Festival budaya yang dahulu dijaga dengan kearifan dan kebersamaan kini mulai kehilangan jiwanya. Ia tidak lagi menjadi milik masyarakat lokal sepenuhnya, melainkan telah direduksi menjadi agenda tahunan yang dikendalikan oleh segelintir kelompok yang memiliki akses pada kekuasaan dan sumber daya.

Kondisi ini semakin menyesakkan jika mengingat bahwa festival tersebut sempat tidak dilaksanakan pada tahun 2019 karena pandemi COVID-19. Saat itu, dunia dihantam oleh krisis kesehatan global, dan segala bentuk kegiatan publik, termasuk festival adat dan budaya, dihentikan demi keselamatan bersama. Masyarakat menerima dengan ikhlas pembatalan itu, meski harus menahan rindu untuk merayakan tradisi yang sudah menjadi bagian dari jati diri mereka. Bahkan di masa pandemi, sebagian kecil dari mereka tetap menjaga nilai-nilai budaya melalui praktik sederhana dalam keluarga dan komunitas kecil.

Kembalinya festival tahun ini seharusnya menjadi momen kebangkitan. Ia semestinya menjadi perayaan penuh makna yang merekatkan kembali solidaritas masyarakat, menghidupkan kearifan lokal, dan menghormati mereka yang selama ini menjaga tradisi dalam diam. Tapi harapan itu justru terpupus oleh kenyataan bahwa festival malah disusun sebagai kepentingan kelompok tertentu. Kegiatan disusun secara terpusat, tanpa melibatkan tokoh-tokoh adat, pemuda lokal, atau perempuan yang selama ini aktif dalam perawatan tradisi sehari-hari. Masyarakat hanya dijadikan penonton, bahkan kadang hanya dijadikan latar dekoratif.

Penyusunan acara, distribusi dana, tidak ada keterbukaan informasi yang seharusnya menjadi puncak kesuksesan kegiatan. Timbul berbagai keluhan dari Masyarakat Desa Sangiang akan tidak dilibatkannya Masyarakat setempat dalam berbagai rangkaian kegiatan. Di sisi lain, masyarakat lokal hanya mendapat peran pinggiran, tampil sebentar di pembukaan, lalu kembali ke kehidupan biasa tanpa pernah benar-benar diberdayakan.

Hal ini menjadi bentuk eksklusi budaya yang sangat disayangkan. Kita tidak hanya bicara soal hak partisipasi, tapi juga soal hak milik atas warisan budaya. Tradisi bukan sekadar tontonan ia adalah identitas hidup yang dibentuk melalui sejarah, perjuangan, dan pengalaman kolektif. Ketika masyarakat dipinggirkan dari proses festival, maka yang dirayakan bukan lagi nilai budaya, tetapi kepentingan yang dibungkus kemasan tradisi. Festival seperti ini kehilangan makna. Ia mungkin tampak meriah, tetapi sejatinya hampa dan dangkal.

Fenomena ini seharusnya menjadi peringatan bagi kita semua bahwa warisan budaya bisa terjadai bukan karena dilupakan, tetapi karena dimanfaatkan secara keliru. Ketika festival tidak lagi menjadi milik masyarakat, maka ia akan kehilangan keberlanjutannya. Generasi muda akan tumbuh dengan pemahaman yang dangkal tentang budaya mereka sendiri, karena mereka melihat bahwa tradisi tidak lagi lahir dari ketulusan komunitas, tetapi dari panggung kepentingan.

Karena itu, perlu dilakukan perombakan menyeluruh dalam cara kita merancang dan melaksanakan festival budaya. Pertama, perlu ada komitmen pelibatan masyarakat lokal secara utuh mulai dari perencanaan, kurasi kegiatan, hingga pelaksanaan dan evaluasi. Tokoh adat, pemuda lokal, perempuan, dan pelaku budaya setempat harus diberikan ruang nyata, bukan sekadar simbolik. Kedua, harus ada transparansi dalam penggunaan anggaran, agar masyarakat tahu bahwa festival diselenggarakan bukan hanya untuk menunjukkan kemeriahan, tetapi untuk memperkuat nilai tradisi dan budaya dan mendukung keberlanjutan. Ketiga, penting adanya ruang pendidikan budaya dalam festival baik melalui diskusi, lokakarya, maupun pertunjukan yang mengedukasi publik mengenai nilai dan makna di balik setiap ekspresi budaya.

Festival tidak boleh menjadi milik panitia atau pihak luar. Ia harus menjadi peristiwa kolektif yang tumbuh dari akar masyarakat sendiri. Jika festival hendak diwariskan ke generasi mendatang, maka ia harus dijaga oleh mereka yang paling memahami maknanya (masyarakat lokal).

Warisan leluhur bukan untuk dijual, bukan untuk dipolitisasi, dan bukan untuk dipertontonkan tanpa makna. Ia adalah identitas hidup yang harus dihormati, dirawat, dan dilibatkan dalam setiap langkah. Sudah saatnya kita mengembalikan festival budaya kepada rumahnya yang sejati, hati dan tangan masyarakat lokal.

Post a Comment

Previous Post Next Post